Selasa, 30 Juni 2015

Hubungan Indonesia-Amerika Serikat Pada Masa Pemerintahan Megawati dibidang Militer (Pertahanan dan Keamanan)

George Walker Bush saat mendampingi Megawati di White House, US. Sumber foto
Tulisan ini merupakan tugas akhir mata kuliah Politik Global Amerika Serikat yang diampu oleh DR. Bambang Cipto, M.A dan diasisteni oleh Idham Badruzzaman.
...........................................................................................................................................................................



Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 2001, terdapat enam program yang ditekankan oleh Presiden Megawati dalam kabinetnya yang dinamakan Kabunet Gotong Royong, salah satu yang mendapat sorotan penting adalah implementasi politik luar negerinya yaitu melaksanakan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, memulihkan martabat negara dan bangsa, serta mengembalikan kepercayaan dari negara-negara asing, termasuk lembaga-lembaga donor internasional, investor, dan pemerintah. Presiden Megawati menambahkan, bahwa pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang intinya adalah untuk memulihkan martabat negara dan bangsa, serta mengembalikan kepercayaan dari negara-negara asing, harus pula memperhatikan pemulihan dan upaya untuk menjaga stabilitas keamanan nasional dan pertahanan. Sistem yang disiplin serta aparat keamanan yang efektif harus kita butuhkan, yang berada di bawah kendali pemerintah, tetapi tetap membawa aspirasi rakyat.
Perihal fokus utama politik luar negeri Indonesia yang menekankan pada ‘perbaikan image bangsa dan mengembalikan kepercayaan pihak dunia luar, maka unsur stabilitas keamanan di bawah pengawasan pemerintah, dengan tetap mengutamakan dan memperhatikan aspirasi masyarakat, dengan kata kunci penting; keamanan, pemerintah, dan masyarakat. Hal-hal tersebut dapat dikatakan merupakan hal-hal yang menjadi ciri khas pemerintahan Presiden Megawati dibandingkan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Lebih jauh Presiden Megawati juga melihat bahwa reformasi nasional dan penciptaan situasi masyarakat yang lebih demokratis memerlukan peran TNI yang dinamis, siap, dan mampu melakukan penyesuaian dengan berbagai perubahan yang ada.
Rakyat umumnya diarahkan untuk lebih berorientasi pada Polri, dan tidak perlu langsung berhubungan dengan aparat TNI dalam hal isu-isu menyangkut keamanan atas dirinya, keluaraganya, dan lingkungannya. Pola hubungan yang demikian menunjukkan bahwa Presiden Megawati konsisten perlunya penataan hubungan sipil-militer yang baru, berbeda dengan masa sebelumnya (terutama di era Orde Baru, dan pasca krisis 1999-2000). Hal tersebut juga akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan Presiden Megawati. Karena suatu bentuk penyesuaian terhadap hal-hal yang baru tidak mudah diimplememtasikan dalam waktu singkat dan diperlukan sosialisasi serta penyesuaian yang bersifat timbal balik. Namun, satu hal telah berani ditunjukkan oleh pemerintahan Presiden Megawati bahwa kalau di AS hubungan sipil dan polisi menjadi ‘kendali keamanan’ bagi masyarakat sipil umumnya, maka hal tersebut juga menjadi perhatian Indonesia. Intinya, Indonesia pun dapat melakukan sesuatu yang penting bagi hubungan sipil-militer.
Menunjang peran baru TNI maupun Polri tersebut, memang pemerintahan Presiden Megawati tampaknya cukup sibuk, karena berbagai ketentuan maupun perundangan mau tidak mau harus pula diwujudkan, disamping soal-soal yang terkait dengan logistik persenjataan yang perlu diperbaharui (mengingat banyak komponen Alutsista yang tidak layak lagi untuk dipertahankan). Dalam hal yang terakhir ini, merupakan hal yang cukup sulit bagi Indonesia untuk menyakinkan pihak-pihak di AS (para anggota Kongres maupun Senat) yang sejak kasus Peristiwa Berdarah di Dilli (1999) ‘makin memperketat’ embargo senjata terhadap Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, bagi pemerintahan Presiden Megawati bukanlah hal yang mudah, karena disamping harus menyakinkan pihak-pihak di AS – Indonesia juga tidak luput dari berbagai kasus pelanggaran HAM dan konflik di wilayah di Indonesia Timur (Poso, Palu, Maluku Utara, Papua Barat), dan wilayah Aceh. Ini berarti pula bahwa Presiden Megawati harus menghadapi tantangan dalam bentuk dua pihak sekaligus yaitu; konflik-konflik etnis di tingkat domestik yang meningkat pada pasca reformasi, dan tantangan diplomasi terhadap AS yang tidak ringan, dimana tidak saja harus melakukan respon tapi juga harus merebut simpati terutama pihak Kongres dan Senat di AS.
Oleh sebab itulah upaya reformasi hubungan sipil-militer semasa pemerintahan Presiden Megawati tidak hanya penting bagi konteks politik domestik, tapi hal itu menjadi basis utama agar image militer Indonesia di mata AS maupun negara-negara Barat lainnya makin baik. Menindaklanjuti upaya tersebut, Presiden Megawati mengunjungi AS seminggu setelah peristiwa ‘nine-eleven’ (11 September 2001), dan beliau merupakan pimpinan negara berkembang pertama yang bertemu dengan Presiden George Bush pasca kejadian itu. Begitu pula berbagai transaksi lobi dan pekerjaam public relations dengan mitra AS terus dilakukan sampai 2004 (termasuk dengan bekas senator AS, Bob Dole, Alston and Bird.
Upaya berbagai pihak di era Megawati tersebut akhirnya berbuah hasil, yaitu Collin Powell pada Januari 2005 mengatakan akan menawarkan suku cadang untuk pesawat militer C-130. Kendatipun tawaran AS tersebut muncul setelah terjadinya tsunami dahsyat di Aceh, namun pihak-pihak LSM pemerhati HAM di AS maupun dunia umumnya tetap mengecam kebijakan Powell tersebut dengan mengatakan tsunami seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mendukung militer Indonesia. Alhasil dari kasus C-130 tersebut upaya diplomasi semasa pemerintahan Presiden Megawati tidak langsung berbuah hasil, tapi justru baru terkabul setelah Megawati tidak lagi memerintah (Januari 2005).
Disamping kunjungan Presiden Megawati ke Washington pada pertengahan September 2001, Presiden George Bush Jr. Kembali bertemu dengan kepala negara Republik Indonesia tersebut pada 22 Oktober 2003 di Bali International airport, Bali Denpasar. Pertemuan tersebut kembali melahirkan Joint Press Availability antara kedua kepala negera tersebut. Presiden Megawati kembali menekankan beberapa poin penting dalam pembicaraan yang bersifat bilateral antara Indonesia-Amerika Serikat isu-isu yang penting dan mendapatkan perhatian bersama yaitu menyangkut terorisme, perkembangan demokrasi di Indonesia, dan dukungan Amerika terhadap militer Indonesia. Menanggapi pernyataan Presiden Megawati tersebut, Presiden George Bush tampaknya tidak keberatan dengan hal-hal yang menjadi perhatian Indonesia tersebut, dan secara umum dapat dikatakan terdapat kesamaan pandangan antar kedua negara dan atas poin-poin tersebut. Ini merupakan pertanda penting bahwa hubungan baik dan erat antar kedua negara perlu dilandasai oleh pandangan yang sama menyangkut respon terhadap teror.

Kesimpulan
Hal-hal diatas mengindikasikan bahwa baik pemerintah AS dibawah Presiden George Bush Jr dan Presiden Megawati sudah saling mengerti dan saling menunjang akan perlunya kerjasama yang lebih erat di berbagai bidang. Kendatipun Indonesia adalah penduduk Muslim terbesar di dunia dan negara nomor tiga yang menganut sistem politik demokrasi, namun kesamaan pandang dalam hal penanganan soal-soal teroris dan keamanan dalam arti luas, telah cukup memberikan dampak positif. Ini berarti bahwa pemerintahan Presiden George Bush Jr makin yakin, bahwa Islam, demokrasi, dan teroris bukan menjadi prioritas asumsi yang saling berhubungan dan tumbuh subur di Indonesia. Teroris memang masih ada di bumi Indonesia, namun pemimpin seperti Presiden Megawati tetap yakin dan konsisten bahwa Indonesia tidak pernah mau berkompromi dengan para teroris. Hal-hal tersebut merupakan makna penting bagi hubungan Indonesia dan Amerika Serikat pasca peristiwa ‘nine-eleven’.
 ..........................................................................................................................................................................
Referensi
Mas'oed, Mochtar. (1989). Studi Hubungan Internasional : Tingkat Analisis dan
         Teoritisasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
             Nye, Joseph. S. (1992). Memimpin Dunia, Sifat Kekuatan Amerika yang Berubah.   
         Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wuryandari, G. (2008). Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik.  
         Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
...........................................................................................................................................................................

Senin, 22 Juni 2015

Prostitusi Bergerigi 2



               Sebuah tempat yang berada di tengah-tengah kota. Sebuah tempat yang sepuluh menit sekali kebisingan karena ada kereta api lewat. Sebuah tempat yang ‘katanya’ milik Raja Yogyakarta tetapi malah menjadi salah satu tempat lokalisasi termahsyur di kota ini. Gang panjang dengan tembok di kiri kanan akan mengantarkanmu sebelum sampai ke tempat lokalisasi. Mereka hidup berdampingan dan harmoni dengan masyarakat sekitar. Hidupku, hidupku. Hidupmu, hidupmu; mungkin kata-kata itu yang mereka pegang sehingga bisa harmonis sampai sekarang. Sekalipun tempat ini adalah tempat lokalisasi, mereka tidak melupakan kewajiban mereka dalam beragama, di sini ada sebuah masjid yang cukup besar dan megah. Semacam mawar merah yang tumbuh dalam padang sahara.
            “Silakan, masuk aja. Maaf tempatnya memang cuma segini,” kata Mbak Luna saat aku dan temanku, Baiq Rita, memasuki ruangan pelatihan.
            Ruangannya sekitar 3m x 4m mirip kos-kosan, tetapi dindingnya hanya terbuat dari triplek-triplek yang ditempeli spanduk bekas kampanye para eksekutif. Untuk meminimalkan rasa gerah, ada sebuah kipas angin mini yang berada di langit-langit dan setiap kipas berputar pasti berbunyi seperti detak jam berdenting. Ruang ini berdempet dengan warung-warung kecil punya warga, atau biasa mereka pakai sebagai tempat transit. Jaraknya dengan rel kereta api pun hanya kurang dari tiga meter. Pintunya terbuat dari bambu yang dilapisi terpal yang ketika kereta api lewat terpal itu berkibar bak sang Saka karena tertiup angin hembusan kereta api.
            “Selamat sore Ibu-ibu. Perkenalkan saya Bryan dan teman saya Baiq Rita dari UMY ingin berbagi sedikit ilmu kami tentang kepenulisan,” aku membuka forum ini dengan sangat gugup.
            Tiba-tiba seorang perempuan yang duduk di pojokan sambil bersender dan dengan muka sedikit cemberut memprotes.
            “Jangan panggil Ibu dong, mas! Panggil Mbak saja. Kan kami belum tua-tua!” celetuk wanita itu.
            Aku terkejut. Kesalahan pertama!
            “Jadi, hari ini kita akan belajar menulis tentang kehidupan Mbak-mbak dari kecil sampai sekarang terjun menjadi seorang pekerja seks komersial. Nantinya, tulisan-tulisan Mbak akan kami bukukan supaya masyarakat mengerti tentang keadaan pekerja seks komersial seperti Mbak-mbak ini dari kacamata Mbak sendiri. Tujuannya supaya tidak ada lagi kata diskriminasi untuk pekerjaan Mbak sebagai pekerja seks komersial,” kataku panjang lebar.
            Tiba-tiba ada yang tunjuk tangan lagi tanda ada pertanyaan, atau protes (lagi). Mati aku.
            “Mas, tolong kata komersialnya dihilangkan ya,” kata wanita itu.
            Kesalahan kedua!
            “Oh iya Mbak, maaf. Baiklah, sekarang mari kita menulis!” seruku menahan malu.
            Pertemuan pertama itu aku jalani dengan penuh kesalahan. Kesalahan yang sebenarnya tak perlu terjadi. Ketakutanku yang pertama terjadi. Aku kurang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dan kondisi mereka.
*bersambung*

Kamis, 11 Juni 2015

Kontes Robot Indonesia 2015 di Yogyakarta

            Yogyakarta menjadi tuan rumah Kontes Robot Indonesia (KRI) 2015 yang kegiatannya dipusatkan di gedung Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). KRI 2015 akan dilaksanakan mulai 11-14 Juni 2015. Peserta KRI 2015 ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia, terjauh bagian barat dari Medan, Sumatera Utara dan bagian timur dari Manado, Sulawesi Utara. Berikut ini foto-foto persiapan gedung Sportorium UMY dalam melaksanakan KRI 2015 :


















Created By Sora Templates