Kamis, 14 September 2017

Ikan Bakar, Ramalan, dan Bu Muslimah (Day 2)



Hari kedua trip kami di Belitung adalah ke Manggar lewat jalan Kampit. Aku jemput Bima di hotel sekitar jam 8 pagi terus langsung cabut ke Manggar. Kenapa lewat Kampit? Karena rencananya kami mau ke Open Pit yang terkenal itu. Aku sendiri belum pernah ke sana jadi yaudah sekalian mumpung ada temennya jadi ke sana deh. Sebelum jalan kita beli kepiting isi dulu sambil mengenalkan Bima ke kuliner khas Belitung ini. Walaupun harga satuannya cukup untuk beli nasi ayam seporsi di Jogja, tapi rasanya worth it kok.

Sekitar jam 10 kurang sudah sampai di Pasar Kelapa Kampit. Selalu senang kalau di Pasar Kelapa Kampit ini. Karena melihat kerukunan beragamanya kuat banget. Ada Vihara, Klenteng, dan Masjid yang letaknya berdekatan. Belitung memang dikenal sebagai daerah yang multikultural sih dan memang di sini adem ayem aja. Belum ada gesekan antar etnis atau agama dan jangan sampai terjadi di Belitung deh kejadian macam gitu.

Karena kami, aku terutama ga tau jalan ke Open Pit, bertanyalah ke orang yang sekiranya tau. Aku sendiri juga asing dengan jalan sekitar Kampit, tersasarlah kami muter-muter. Setelah 15 menitan muter-muter cari jalan, akhirnya nemu gerbang menuju destinasi pertama kami : Open Pit. Untuk teman-teman yang ingin ke sana masuklah lewat jalan taman Kampit, lurus terus sampai ketemu perempatan yang ada masjidnya, terus belok kanan. Sekitar 300 meter dari perempatan sudah ada papan nama Open Pit di kiri jalan. Jangan muter-muter ga jelas dulu kaya kami.

Akses menuju Open Pit terbilang masih sangat buruk untuk tujuan wisata. Jalan menanjak yang masih bertanah kuning dan tidak rata sangat menyusahkan bagi wisatawan yang manja. Untungnya kita wisatawan yang ga manja jadinya lanjut aja. Jalan bertanah kuning yang menanjak harus dilalui sepanjang 600 meter dari plang nama Open Pit. Kiri kanan jalannya masih hutan jadi sedikit menakutkan bagi yang biasa nonton film horor yang ada scene hantu di hutan.

Open Pit dengan segala sejarah yang terkandung di dalamnya. Jalan menuju tempat ini ga sempat difoto, soalnya udah ngos-ngosan duluan.

Pose serius yang bagus. Ketepangen mun uje urang Belitong galak e.


Bima abis perawatan kulit di Belitung Skincare Aesthetic Center.

Sekitar sepuluh menit kemudian akhirnya kita dihadangkan pada pemandangan yang ...... bagus tapi biasa saja. Bener kata Bima sih, "Tempat ini sebenernya biasa aja, cuma sejarahnya yang bagus". Open Pit merupakan tempat tambang timah primer satu-satunya di Bangka Belitung yang menerapkan sistem underground (Tambang Dalam). Tambang Dalam ini berproduksi sejak tahun 1895 hingga 1985. Kini hanya menyisakan kolong (lubang bekas galian timah) yang airnya berwarna hijau dan dijadikan sebagai salah satu tempat wisata di Belitung Timur.

Di Open Pit kita cuma foto-foto sekitar 10 menit abis itu balik melanjutkan perjalanan langsung ke Pantai Burung Mandi. Di sinilah perbuatan sangat berdosa kami perbuat. Bukan, kami bukan berduaan di semak-semak, bukan pula berbuat yang tidak senonoh. Lebih dari itu.

Baca juga : HBisOnVacation Akhirnya Ke Belitung! (Day 1)

Sampai di Pantai Burung Mandi kita cari-cari tempat duduk yang pewe. Setelah nemu kok kayanya ada yang kurang. Iya! Kelapa muda! Menurutku, kalau ke pantai tidak minum Kelapa Muda itu seperti minum es teh tanpa sedotan. Ya tetep bisa diminum sih, tapi ya lupakan aja lah. Bukan itu inti dari cerita Burung Mandi. Penasaran ya? Di paragraf selanjutnya, ya!

Setelah datang kelapa muda kok kayanya masih ada yang kurang ya? Oh ya, kalau di pantai enaknya makan ikan kerisi bakar. Tanya ke warung terdekat nanya ikan kerisi ga ada, adanya ikan Jebung yang harganya 80 ribu. Terus karena masih pengin cari ikan kerisi, kita pergi ke warung yang jaraknya empat warung dari warung awal. Belum ngerti? Ulangin coba bacanya. Udah? Yakin? Oke lanjut. Aku tanya ke kakak penjaga warung kedua, "Kak, ade ikan kerisi ke?", "Dak ade o bang". Nelayan ga melaut malam sebelumnya karena angn kencang, jelas kakaknya tadi. Terus aku tanya, "Kalok ikan Jebung berape kak?", "50 ribu la bang". Beda 30 ribu sama warung pertama. Aku oke, Bima oke. "Ye kak pesan sikok (satu) ye ikan Jebung," kataku ke kakak yang baik itu. Terus Bima bilang, "Gapapa ya pesan makan tempat lain, kan kita duduk di depan warung tadi?". Oh iya juga pikirku. "Apa bungkus aja, Bim?". Bima manggut-manggut. Oke. "Bungkus kak ye. Kamek (kami) tinggal dulu. Nak (mau) foto-foto dulu". Kakaknya mengiyakan sambil mengambil ikan Jebung dan lantas langsung membakarnya dengan bumbu-bumbu ikan bakar.

Kita balik ke tempat duduk dan Bima berjalan ke tepi pantai meng-capture Pantai Burung Mandi yang tidak seindah Pantai Tanjung Kelayang yang dihari sebelumnya dikunjungi. Sorry to say, matamu mengalami downgrade akut, Bim. Duduk-duduk di sana agak lama karena nunggu lewat jam 12. Katanya, kalo jam 12 lagi dalam perjalanan, banyak hantu lewat di jalanan itu. Entahlah benar atau tidak. Tapi, sebenernya kita masih menikmati angin sepoi-sepoinya pantai ini jadi udah pewe duluan. Saking pewe-nya, kita memutuskan untuk tidak mengambil dan membayar ikan yang sudah kami pesan tadi. Iya, kita kabur. Kita melarikan diri dari tempat itu. Kita berlumur dosa. Kita jahat. Keluar pantai dengan rasa tidak berdosa dan menganggap hal tersebut bagian dari pengalaman trip kita. Pengalaman, ndiyasmu! Jika kakaknya baca tulisanku ini, aku minta maaf ya kak. Setelah dipikir-pikir, betapa jahatnya kami merampas rejekimu. Aku sumpahin lah kakak dapat rejeki banyak setelah kejadian itu ya kak. AAMIIIIN!!!!

Dari Pantai Burung Mandi, kita cabut ke Vihara Dewi Kwan Im yang letaknya tidak jauh dari Pantai Burung Mandi. Aku penasaran dengan mitos ramalan di sini. Bima juga masukin tempat ini dalam list tempat kunjungannya di Belitung. Klop. Kita naik dan muterin tempat ini. Ornamen yang dominan berwarna merah kental dengan ciri khas Tionghoa terpampang di setiap inci bangunan itu. Vihara ini merupakan vihara tertua dan terbesar di Belitung dan berdiri sejak abad 18. Ketika kami berkunjung, masih berlangsung pembangunan patung Dewi Kwan Im terbesar di Belitung. Akan diresmikan akhir September 2017 ini.

Patung Dewi Kwan Im yang lagi dibangun.

Pojok Vihara

Tempat sembahyang terbesar di Vihara ini namanya Kon In.

Pemandangan dari tempat sembahyang
Pas kita ke pusat tempat itu (mungkin tempat sembahyangnya umat di Vihara), ga ada penjaganya. Yah, gagal ngeramal. Wait. Niat kita ngeramal bukan karena kita desperate dengan hidup kita, ngga, tapi hanya untuk seru-seruan aja. Setelah mau balik, eh penjaganya dateng. Tapi dia bilang ga bisa baca artinya. Yaudah lah gapapa, toh niatnya juga bukan untuk tau dan meyakini hasilnya.

Ritual ramalan ini dimulai dengan berdoa di depan tempat sembahyang sambil menyebutkan nama lengkap dan alamat. Aku berdoa. Tapi, dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Setelah itu, kita diminta untuk mengocok sekotak kayu yang isinya beberapa kayu panjang bertuliskan abjad Tionghoa. Dikocok hingga keluar satu kayu. Setelah keluar satu kayu, kita disuruh memegang dua benda yang bentuknya setengah bulat. Kita diminta untuk menjatuhkan benda itu ke bawah. "Senpai!" kata penjaganya. Artinya adalah doa kita diterima oleh yang di atas. Tandanya salah satu dari dua benda itu jatuh dengan posisi terlentang dan satunya sebaliknya. Aku sendiri ga tau gimana caranya dia membacanya, tapi setelah itu aku langsung dikasih kertas berbentuk persegi panjang dan bertuliskan huruf mandarin. Di balik kertas ada terjemahannya. Tapi, terjemahannya itu seperti kalimat kiasan, jadi tidak bisa langsung dipahami. Yaudah lah ya, yang penting sudah ngerti prosesnya. Yes! Udah ga penasaran lagi.

Bima lagi melakukan ritual ramalan.

Ini lho hasilnya.
Setelah kita berdua 'diramal', kita mau balik. Eh tiba-tiba gerimis. Apakah ini tanda bahwa kita sudah menambah dosa setelah kabur dari kakak-kakak ikan bakar? Kita diazab karena meramal hidup di sini? Semoga ngga. Kita terobos aja gerimis itu dan sekitar 200 meter setelah keluar, gerimisnya udah ga ada. Kita tambah merasa diazab karena sudah kabur dari ikan bakar dan meramal di Vihara. Ya Tuhan, maafkan kami.

Dari Vihara, rencananya kita mau ke Pantai Bukit Batu, yang konon dipunyai oleh Ahok. Tapi karena waktu sudah tidak memungkinkan, kami lanjut terus ke Manggar. Muterin Kota Manggar, terus ke Pasar Manggar ngelewatin '1001 warung kopi', Pantai Serdang, terus naik ke Bukit Samak, lalu istirahat makan di rumahku. Iya, ga ada yang istimewa di Manggar, kecuali kerumunan orang-orang yang ngopi menghabiskan waktu berjam-jam tanpa kegiatan lain. Kita istirahat makan, charge hape, dan leyeh-leyeh sebentar terus langsung cabut ke Gantung.

Ke Belitung kalau ga ke Gantung itu kaya make laptop yang baterenya soak tapi ga bawa charger-nya, ga akan bisa. Iya, ini curhat. SD Laskar Pelangi, Museum Kata Andrea Hirata, rumah Ahok, dan .......... rumah Bu Muslimah. Iya, rumah asli beliau. Kebetulan, dulu banget pas beliau masih ngehits di tv-tv aku main ke rumahnya tapi ga ada orang. Jadi, aku tau rumah beliau. Pas sampe rumah beliau, rumahnya kebuka sih. Tapi, sudah diketuk-ketuk dan salam, orang di dalam tidak menanggapi. Pas mau balik, eh ada suara panci jatuh. Aku salam lagi, lalu tiba-tiba muncul sesosok wanita yang berbusana sehari-hari umumnya ibu rumah tangga. Ia hanya mengambil barang di meja dekat pintu yang terbuka tanpa mengindahkan salam kami. Bahkan ia mendehem, "euhh". Iya, itu beliau. *gabolehnyinyir* *khusnuzonaja*. Lalu, aku dan Bima mundur perlahan dan pulang.

Di SD Laskar Pelangi. Aku ga foto di sini, dah sering ke sini. Bosen. He he he

Sok akrab.

"Siapa yang tahu jawaban soal ini angkat tangan?"

Museum Kata Andrea Hirata.

Salah satu pojok Museum.
Kami mencoba untuk menebak-nebak motifnya memperlakukan kami seperti itu. Tapi, yasudahlah. Kalaupun ia menanggapi kami dengan baik juga mau ngomongin apa, yekan? Daripada sakit hati mikirin itu mending kita ngopi aja di salah satu warung kopi di pasar Manggar. Setelah dari warkop kita ngabisin waktu senja di Pantai Nyiur Melambai sambil ngomongin buat trip hari ketiga mau ke mana aja. Nothing special kalo di Manggar. Jadi, ga heran kalau wisnus atau bahkan wisman, cuma menjadikan Manggar dan Belitung Timur sebagai tempat transit saja. Soalnya ga ada penarik untuk wisatawan untuk berada lebih lama di Manggar.

Trip hari kedua selesai dan kami lalui dengan berlumur dosa.

Kamis, 07 September 2017

HBisOnVacation Akhirnya Ke Belitung! (Day 1)

Di Pulau Pasir

Tanggal 2 September kemarin aku balik ke Belitung setelah menyelesaikan urusan administrasi dan urusan lainnya pasca wisuda. Sebelumnya, aku ngabarin temenku yang dari Jogja namanya Bima kalau aku akan ke Belitung tanggal segitu. Kenapa ngabarin Bima? Karena dia pernah bilang kalau pengin ke Belitung bulan Oktober/November. Daripada misalnya bulan segitu aku dah balik ke Jogja lagi, mendingan aku kasih tau kalo September aja ke Belitungnya. Setelah cek ricek ternyata dianya juga bisa lowong waktunya tanggal 3-5 September yaudah kan pas. Cus Belitung.

Bima ini termasuk teman pertamaku di Jogja. Dulu, pas masih jamannya main twitter kan ada tuh hashtag-hashtag nah kucari lah hashtag #HubunganInternasionalUMY eh nemu tweet dia lagi ngomongin itu. Yaudah mention-mentionan dan janjian ketemuan di Jogja sekalian bantuin aku cari kosan. Tapi ga tau kenapa dulu tuh ga jadi cari kos-kosan bareng dia, jadinya sama temennya Kakin, Mas Fauzan. Mungkin dulu Bima mikirnya, "Siapa elu. Gue ga kenal lu". Atau mungkin Bima dulu lagi main  drama minggat dari rumahnya gara-gara berantem sama abangnya jadi lupa mau nemenin nyari kos-kosanku. Bima ini juga teman satu organisasi di Jogja, organisasi yang berbasis lingkungan. Dari sana baru mulai suka ngobrol sama Bima ini dan mulai tau betapa busuk dan lamisnya mulut Bima. Bima ini termasuk salah satu traveller ulung tingkat Jogja dan yang menjadi ciri khas photo tripnya adalah hashtag #HBisOnVacation di instagramnya. Jadi, merasa bangga lah kamu yang pernah ngetrip bareng Bima.

Seminggu sebelum tanggal berangkat, kita intens komunikasi soal destinasi di Belitung, termasuk cuaca yang menurut perkiraan cuaca di gugel, Belitung bakal ujan dari tanggal 3-5 September itu. Makin deg-degan lah si Bima. Aku juga intens komunikasi sama Kakin dan Bapak buat nanyain kondisi cuaca di Belitung. Bikin tambah deg-degan itu karena H-3 berangkat, Belitung ujan deras seharian kata Kakin dan Bapak. Deg. Kita udah getar-getar itu takut jadwal yang udah disusun jadi gagal karena cuaca. Mau ga mau si Bima harus berangkat karena transportasi PP sudah dipesan. Apapun yang terjadi.

Tanggal 3 September akhirnya datang. Bima pakai flight pagi yang jam 7 supaya bisa langsung hopping island. Syukur, pagi itu cuaca cukup cerah, tapi langit terbagi jadi dua sisi, langit cerah warna biru dan langit cerah berawan tebal agak hitam. Lumayan lah kalo buat hopping island ga terlalu panas menyengat kaya dulu aku pertama kali hopping island. Dari bandara terus langsung cabut ke Tanjung Kelayang diantar Bapak sama Umak. Perjalanan sekitar 30 menit cukup panjang karena kiri kanan hutan semua dan jalannya cenderung lurus. Oh ya, hopping island ini Kakin juga ikut karena kebetulan hari Minggu dia libur jadi ikut aja sekalian.

Boat yang disewa lumayan besar dan termasuk murah karena saat itu sedang liburan Idul Adha dan pas hari Minggu. Boat yang ukurannya cukup besar untuk diisi tiga orang itu disewa 400k belum termasuk pelampung dan alat snorkeling. Sekitar jam 8.30 boat mulai menyalakan mesin untuk berangkat. Perasaan ku setiap ingin hopping island selalu sama, over-excited! Ga tau kenapa padahal ya orang asli sini tapi ya begitulah. Pulau pertama yang disinggahi adalah Pulau Pasir. Pulau ini muncul hanya pagi hari ketika air laut sedang surut dan tidak bisa lagi terlihat ketika sudah jam 10 ke atas, karena itulah pas hopping island ku yang pertama tahun 2015 aku ga ke pulau ini karena sudah tenggelam. Menurut abang-abang supir boat kami, di sini dulu banyak terdapat bintang laut. Namun, karena perilaku wisatawan yang setiap ketemu bintang laut mereka angkat-angkat untuk dijadikan objek foto, membuat bintang laut di sini mati. Hanya bersisa beberapa saja, itupun ga tau masih hidup atau tidak.





Abang-abang sopir boat.

Kami emang tidak menemukan bintang laut, tapi kami menemukan ubur-ubur! Aku pertama kali melihat ubur-ubur secara langsung dan ternyata ukurannya cukup besar. Tekstur badannya seperti kolang-kaling yang licin dan bentuknya seperti sel sperma, bulat tapi makin ke bawah makin kecil. Kata abang-abang supir boat kami, ubur-ubur yang berwarna putih biru ini tidak beracun, namun sisi birunya itu bisa membuat gatal-gatal bagi yang memegangnya. Si Bima malah ngira ubur-ubur itu adalah batu hampir mau dia injak. Di pulau ini kami tidak lama, setelah puas berfoto dan mengamati sekitar kami lanjut ke pulau selanjutnya, Pulau Batu Berlayar!

Ubur-uburnya. Kalo di spongebob warnanya pink.

Di-hopping island-ku yang pertama tahun 2015, selain tidak menemui Pulau Pasir, aku juga tidak mengunjungi Pulau Batu Berlayar karena dulu aku bareng sama rombongan lain dalam satu kapal jadi perjalanan waktu itu tidak enak. Pulau ini ciri khasnya adalah batu granitnya kurus tinggi dan ketika pasang tanahnya tenggelam hanya menyisakan batu-batu tinggi sehingga dijuluki batu yang sedang berlayar. Di sana saya berkenalan dengan wisman yang berasal dari Amerika Serikat. Dia sangat merasa takjub melihat pemandangan laut di Belitung. Katanya, "Anda harus bersyukur dilimpahi keindahan alam seperti ini". Ya sih, bersyukur pasti. Tapi di sini ga ada fasilitas hiburan yang memadai seperti di negaramu, Mister! Dia di Belitung selama dua hari dan akan melanjutkan perjalanan ke Jakarta keesokan harinya.

Di belakang kami langitnya mendung tapi di depan kami cerah panas.

Bocor di mana-mana. Hari Minggu sih ya -,,-

Jangan lupa selfie!

Pulau Batu Berlayar.

Pulau selanjutnya adalah tujuan paling utama kami: Pulau Lengkuas! Siapa sih yang ga tau pulau ini? Siapa sih yang ga tau ciri khas pulau ini? Pulau ini memiliki mercusuar di tengahnya dan dikelilingi batu-batu granit tertua di Belitung. Dua tahun lalu masih bisa menaiki mercusuar ini sampai ke puncaknya, namun sekarang hanya bisa sampai lantai tiga saja. Menurut sumber terpercaya, hal tersebut dikarenakan beberapa bulan lalu ada pengunjung pulau yang ternyata merupakan orang-orang yang berwenang terhadap mercusuar di Indonesia. Orang-orang tersebut kaget karena harus membayar 5k untuk naik sampai puncak mercusuar. Menurut mereka, hal tersebut merupakan pungutan liar yang dilakukan oleh penjaga mercusuar. Karena itu, puncak mercusuar ditutup untuk wisatawan dan hanya sampai lantai tiga saja.

Dimas Bima pas baru sampai Pulau Lengkuas.

Sedikit mendung.

Raut wajah kecewa Dimas Bima. Sok tegar main HP.

"Kalau aku balik langsung difoto, ya!" saat Bima mau backpose. Oke bosseeee

Aku mah pake pose andalan aja. hahaha

Merenung.

Perjuangan untuk dapet angle yang bagus.

Ini hasil fotonya. Sesuai sama perjuangannya kan?

Aku pribadi juga merasa kecewa karena tidak bisa naik ke puncak hanya karena masalah 5k. Coba pikir deh, perawatan mercusuar itu tidak gampang. Rangka bajanya harus terawat dan tidak boleh terkena air laut karena bisa berkarat. Dulu, mercusuar ini catnya sudah oren-oren tanda sudah harus diganti. Sejak Laskar Pelangi mendunia, mercusuar ini dipugar dan dicat ulang sehingga menjadi bersih seperti sekarang. Dari mana duit pemugarannya? Ya dari duit wisatawan yang 5k per orang itu. Aku sih ga tau pasti ya, setiap mercusuar ada dapet jatah duit dari pusat atau ngga, tapi yang pasti dengan adanya HTM itu bisa membuat penghidupan lebih layak bagi penjaganya dan pasti wisatawan lebih nyaman untuk naik ke atas karena mercusuarnya terawat. Bima yang dari rumah mungkin sudah ngebayangin bakal merentangkan tangan di puncak mercusuar lalu diterpa angin dan dihadapkan pada pemandangan super indah, harus ambyar ketika mau naik ke lantai empat malah ditutup teralis dan digembok.

"Di sini mangku laptop sambil bikin skripsi cepet selesai kayanya ya". Iya, selesai riwayatmu.

Batu-batu itu jadi saksi terwujudnya mimpi Bima selama tujuh tahun.

Selfie

Selfie lagi

Minta fotoin orang.

No edit. Kalo diedit dulu pasti lebih bagus.

Di Pulau Lengkuas ini kami cukup lama. Bersantai di sisi barat pulau yang ada hutan asmara. Di sana Bima bercerita kalau trip ke Belitung ini merupakan mimpi dia dari tujuh tahun yang lalu saat dia masih SMA atau SMP ya, Bim? Pokoknya pas dia lihat Musikal Laskar Pelangi, saat itu juga keinginannya untuk ke Belitung membuncah. Sampai sekarang dia masih nyimpen brosur paket wisata ke Belitung yang didapat saat menonton Musikal Laskar Pelangi di Jogja. Bima kaget ketika aku bilang kalau di Belitung ga ada Indomaret, Alfamart, Bioskop, apalagi Mall. Dia tanya, "Terus hiburan untuk masyarakatnya apaan?!". Ya, paling mentok ke supermarket paling besar di Belitung atau kalau ngga ya main-main ke pantai kota atau nonton TV melihat sajian-sajian drama bodoh kebanyakan micin. Btw, untuk bayangan aja, supermarket atau pusat perbelanjaan terbesar di Belitung itu aja cuma kaya Gardena-nya Jogja.

Dari Pulau Lengkuas kami langsung dibawa ke spot snorkeling ga jauh dari pulaunya. Jujur, ini pertama kali aku snorkeling, tapi ya tetep pelampung ON. Walaupun anak pantai, aku ga bisa ngapung, kalau berenang sih bisa. Bisa tenggelam. Kami dari darat bawa roti tawar untuk sangu kami di perjalanan, eh tapi kok ikan-ikan di sana kayanya kelaparan. Karena kami baik jadinya kami kasih roti deh ikan-ikan itu. Terumbu karang di spot snorkeling itu menurutku biasa aja, tapi cukup bagus untuk orang yang pertama kali lihat langsung terumbu karang, like me. Awal-awal nyebur, aku, Bima, dan Kakin kaya orang takut tenggelam padahal udah pakai pelampung. Paniklah kita sampai mau nabrak kapal sebelah yang lagi sandar juga. Sekitar 30 menit kami di situ, karena udah kecapean akhirnya next island aja.

Nahan panik.

Foto snorkelingnya dua aja ya. Foto lainnya muka ga kekontrol.

Di perjalanan ombak laut jadi besar dan boat kami terombang-ambing sampai baju yang dipakai semula hampir kering karena tiupan angin, jadi basah lagi kena air laut tapi tetap happy! Pulau selanjutnya ini pulau yang ga jauh dari Tanjung Kelayang, namanya Pulau Kelayang. Di sini kita bisa menyusuri pulau itu dan menemukan sela-sela batu yang terisi dengan air laut (orang sekitar menamai ini dengan Goa Kelayang). Cukup photogenic spotnya. Cocok untuk merenung dan mengharap pencerahan dari yang Maha Kuasa. Dari goa kami ke bibir pantainya yang menurutku terbaik sepanjang hopping island. Airnya hijau bening ditembus sinar matahari, batu granit yang mirip garuda (tapi kata Bima ga mirip sama sekali, hahaha), pasir putihnya yang membuat pengin ada di pantai itu terus.

Pemandangan di dalam Goa Kelayang.

Pinjem pose andalannya Bima. Kata Bima captionnya gini, "Ekspresi kalo lagi liburan terus ada panggilan dinas".

Muka hangus abis hopping island.

Sampe sini aku baru sadar akhirnya ada temen kuliah yang ke Belitung dan no wacana. hahaha

Ga terasa sudah jam 4 sore. Kami balik ke Pantai Tanjung Kelayang dan bilas-bilas. Pas di tempat bilas, Bima dikira penjaga tempat bilas itu. Tempat bilasnya itu ga ada airnya, jadi harus nyiduk dari ember di depan tempat bilas. Nah, datenglah mbak-mbak dengan santainya bilang ke Bima, "Saya mau pipis mas". Untung aja Bima ga jawab, "Sini mbak pipis bareng". Jadi Bima jawab, "Saya mau mandi". Mbaknya bingung. Bima bingung. Mereka tatap-tatapan dan akhirnya mereka merajut cinta. Kalo di-sinetron-kan judulnya jadi 'Cinta Bersemi di Tempat Bilas'. Bercanda. Pas Bima sama mbak-mbaknya tatap-tatapan Bima bilang, "Saya bukan penjaganya, Mbak". Lalu si mbaknya pergi karena malu kayanya. Hahaha kasian Bima dikira penjaga tempat bilas. Padahal kan di tempat asalnya dia jadi Dimas. Tampang mu sih Bim kelihatan gitu. Hahahahhaaha. Ga lama kemudian, datang mbak-mbak beda lagi, dan korban selanjutnya adalah aku........................... dengan cerita yang sama.................

Setelah bilas-bilas kami memesan kelapa muda yang menurutku adalah minuman wajib saat ke pantai. Sambil nunggu dijemput Bapak untuk lihat sunset di Pantai Tanjung Pendam. Tapi ternyata Bapakku jemputnya telat dan harus ikhlas melewatkan moment golden sunset sore itu. Jadinya langsung anter Bima ke hotelnya yang letaknya pas sebelum pintu masuk pantai. Pas baru masuk hotel ini, aku pikir wah keren hotelnya tepi pantai dan ada cafe yang langsung menghadap ke sunset point-nya. Eh, tapi kejadian check-in hotel yang sangat nyerikek membuat kesan wah itu hilang. Ceritanya bisa dibaca di blognya Bima nanti ya, di sini. Biar dia aja yang cerita.

After golden sunset di Pantai Tanjung Pendam. Cafe ini terletak di hotel tempat Bima nginep. Bagus sih, tapi.........

Setelah antar Bima ke hotel, Aku, Kakin, Bapak, dan Ibu pulang ke kontrakan Kakin. Sekitar jam 8 malam mau nongkrong di Legend Jogja-nya Belitung makan Mie Belitung dan ngewarkop di Kong Djie Coffee. Cerita-cerita sambil ngomongin trip buat hari kedua. Karena kepala sudah berat dan perut sudah kenyang polllll kita balik dan langsung istirahat buat trip besoknya karena trip besok harus naik motor dan lewat jalan Kampit. Jalan yang panjang.
Created By Sora Templates