Sabtu, 16 Mei 2015

Prostitusi Bergerigi



“Gimana, Bry? Jadi mau ikutan, ga?” tanya Erwin.
“Gimana ya, Win? Aku masih bingung. Bahaya ga sih?” sahutku sambil tertawa.
“Aku tunggu sampai besok ya Bry jawabannya. Kalau mau ikut langsung kontak aku aja,” timpal Erwin.
Hari Rabu bulan September 2014 aku diajak teman seorganisasiku, Erwin Rasyid, mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa ke-28. Setahun sebelumnya aku juga pernah mengikuti program serupa, jadi aku tidak terlalu asing dengan nama programnya. Aku berpikir dua kali untuk mengiyakan ajakan Erwin karena tema yang diangkat di program Erwin ini. Temanya adalah ‘Advokasi Perempuan Pekerja Seks Melalui Citizen Journalism’. Perempuan Pekerja Seks? Sangat diluar bayanganku saat itu. Aku membayangkan jika aku menerima ajakan Erwin aku akan ‘bergaul’ dengan perempuan-perempuan pemanen dosa. Aku takut, sebagai pria normal, akan tergoda jika aku ‘bergaul’ dengan mereka. Aku membayangkan jika aku menerima ajakan Erwin, aku akan dicekoki minuman keras oleh mereka sehingga aku mabuk, lalu aku tidak sadarkan diri dan ketika bangun aku sudah berada di sebuah kamar dengan perempuan di sampingku. Aku terlalu terbuai dengan cerita-cerita murahan sinema televisi saat aku kecil yang hampir setiap hari aku tonton. Aku bimbang; ya atau tidak. 
Keesokan harinya, aku kembali bertemu dengan Erwin. Aku sedikit tak acuh padanya ketika bertemu. Aku malas bertemu dengannya karena pasti aku akan ditanyai lagi tentang ajakan dia kemarin.
“Hei, Bry! Gimana? Ya atau tidak?” akhirnya dia bertanya.
“Eh, Win! Hehehe. Gimana ya, Win? Aku bingung, Win,” sahutku.
“Kapan lagi bisa berkontribusi untuk masyarakat kalau ga sekarang Bry?! Kapan lagi bisa dekat dengan mereka-mereka? Selama ini kita hanya melihat mereka dari luarnya saja, kita belum pernah melihat apa yang sesungguhnya terjadi dibalik profesi mereka kan?” Erwin meyakinkanku.
Terkesiap aku mendengarnya. Aku mulai bertanya-tanya, apakah mereka sengaja ingin berprofesi sebagai pemuas nafsu pria tidak tahu malu? Atau malah mereka berprofesi seperti itu karena terjebak dalam skenario konspirasi orang-orang biadab? Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, aku iyakan ajakan Erwin. Toh nanti disana aku akan saling belajar dengan mereka tentang ilmu jurnalistik. Jadi, tidak akan ada kata mabuk-mabukan disana. Aku luruskan niatku untuk mencoba berbagi ilmuku tentang jurnalistik kepada mereka. Dengan menyebut nama Allaah yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang.
***
            Dua bulan berselang, proposal program kami –Aku, Erwin, Laila, Hilmi dan Dea— akhirnya disetujui oleh Direktorat Pendidikan Tinggi untuk kami laksanakan program kami di lokalisasi di sekitar kota Yogyakarta. Dana yang disetujui pun sekitar 95 % dari yang kami usulkan. Kami mulai merancang modul, perlengkapan, peralatan, dan segala kebutuhan kami untuk melaksanakan program yang tidak biasa ini. Bagaimana tidak? Selama sekitar tiga bulan kami akan bercokol di tempat lokalisasi yang sebelumnya membayangkannya saja tak pernah.
            Akan aku jelaskan sedikit inti dari program kami ini. Program ini adalah sebuah wadah advokasi untuk para Perempuan Pekerja Seks (PPS) melalui citizen journalism. Dimana di program ini kami akan mengajak para PPS ini untuk mengadvokasi diri melalui tulisan, baik itu berita, cerita, hingga dalam bentuk puisi sekalipun. Dengan cara ini, mereka diharapkan mampu membuka mata dan pikiran orang-orang di luar sana yang menganggap mereka hanya sampah masyarakat. Tetapi, sebenarnya mereka hanyalah korban dari orang-orang biadab yang hanya mengincar kenikmatan dan keuntungan untuk kantong mereka sendiri. Keluaran yang diharapkan dari program ini adalah buku yang sedang kalian pegang sekarang. Tulisan dalam buku ini adalah tulisan mereka sendiri, para PPS yang banyak mendapat celaan, cercaan, dan cemoohan dari masyarakat; mungkin termasuk Anda.
            Aku, Hilmi, dan Laila masing-masing ditugaskan menjadi pelatih PPS di tiga tempat lokalisasi yang telah dipilih : Ngebong, Giwangan, dan Pasar Kembang. Satu kali dalam seminggu selama satu bulan kami akan berkunjung ke masing-masing tempat itu untuk melakukan pelatihan jurnalistik. Kebetulan aku mendapatkan tempat yang cukup dekat dengan kosku : Ngebong. Laila di Pasar Kembang dan Hilmi di Giwangan. Sedangkan Erwin dan Dea akan menyiapkan acara launching bukunya. Aku gerogi. Bisakah aku? Apakah aku mampu untuk membawa suasana yang kondusif bersama dengan PPS yang dalam pikiranku saja aku takut dengan mereka.
***
bersambung~
Created By Sora Templates