Rabu, 20 Januari 2016

Masa Depan Pariwisata Indonesia di Era MEA


Pantai Tanjung Kelayang, Borobudur, Bali, dan Air Terjun Sri Gethuk (searah jarum jam)

Tanggal 31 Desember 2015 lalu, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah resmi berlaku tanpa perayaan yang spektakuler. Dengan berlakunya MEA, maka arus keluar-masuk antar negara di kawasan Asia Tenggara menjadi sangat bebas; barang, jasa, dan manusia. Hal ini sudah diantisipasi jauh-jauh hari oleh semua negara anggota ASEAN supaya tidak kalah bersaing dalam ‘merebut pasar’ MEA ini. Salah satu bidang yang sangat mempengaruhi dan juga diperebutkan oleh negara-negara ASEAN adalah pasar pariwisata, karena tidak dipungkiri, ciri khas alam dan budaya di ASEAN mempunyai kemiripan satu sama lain sehingga setiap negara berlomba-lomba untuk mengemas dunia pariwisata mereka semenarik mungkin untuk menarik wisatawan berkunjung ke negaranya.

Di Indonesia sendiri, pariwisata termasuk dalam lima besar sumber pemasukan terbesar bagi devisa negara berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik yang diutarakan oleh Arief Yahya, Menteri Pariwisata Indonesia, di Republika Online pada tanggal 16 Oktober 2015 dengan nilai mencapai 140 triliun rupiah. Nilai ini naik 20 triliun rupiah dibandingkan tahun sebelumnya yakni 120 triliun rupiah. Kemudian, jika dilihat dari angka kunjungan wisatawan mancanegara, terlihat kenaikan angka kunjungan wisman di periode yang sama yakni Januari-Juli, dari 5.319.732 wisman tahun 2014 ke angka 5.472.050 wisman tahun 2015. 

Mari kita bandingkan dengan angka kunjungan wisman di beberapa negara ASEAN yang menjadi ‘lawan’ Indonesia dalam merebut pasar pariwisata dalam rangka MEA. Menurut www.world-statistics.org, angka kunjungan wisatawan mancanegara ke Asia Tenggara pada tahun 2012 terbanyak diraih oleh negara Malaysia dengan angka 25.033.000 wisatawan mancanegara (wisman), disusul oleh Thailand dengan angka 22.354.000 wisman, Singapura dengan angka 11.098.000 wisman, dan Indonesia dengan angka 8.044.000 wisman. Kemudian pada tahun 2013, menurut otoritas pariwisata masing-masing negara, Indonesia masih berada di posisi ke-4 dengan angka kunjungan wisman 8.802.129, sedangkan posisi pertama direbut oleh Thailand dengan angka 26.546.725 wisman, disusul oleh Malaysia dengan angka 25.720.000 wisman, dan posisi ketiga oleh Singapura dengan angka 15.567.923 wisman. Angka-angka ini setidaknya telah menjadi tolak ukur bagaimana setiap negara itu mengemas pariwisata mereka sedemikian rupa sehingga para wisatawan mancanegara itu tertarik untuk mengunjungi negara tersebut.

Indonesia sebagai negara dengan potensi pariwisata yang sebenarnya lebih potensial dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seharusnya bisa mendapatkan angka wisman yang lebih banyak. Hal yang perlu dipelajari dari mereka adalah bagaimana strategi mereka mengemas dan memasarkan potensi pariwisata mereka yang terbatas itu ke panggung pariwisata dunia. Seperti contoh, negara Gajah Putih, Thailand. Negara itu memiliki beberapa kemiripan dengan Indonesia di beberapa bidang pariwisata, seperti wisata bahari dan wisata sejarah. Namun, kenapa para wisman lebih memilih Thailand daripada Indonesia? Jawabannya adalah karena mereka memiliki strategi untuk memoles pariwisatanya sangat apik dengan kemasan dan layanan yang memuaskan. Dengan sangat mudah kita menemukan informasi pariwisata tentang Phuket, Thailand daripada informasi pariwisata tentang Raja Ampat, Papua atau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Padahal ketika dibandingkan secara fisik, keindahan Raja Ampat dan Sumba lebih mumpuni daripada keindahan Phuket.

Tol Laut Sebagai Wisata Khusus untuk Menarik Wisman
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sekali sumber daya bahari yang layak untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisman. Hal ini sangat berbeda dengan negara lain di ASEAN yang wilayah perairannya tidak seluas Indonesia. Pada pemerintahan Jokowi saat ini, telah dicanangkan untuk membuat ‘tol laut’ yang fungsi utamanya adalah untuk mengefisienkan waktu antar barang dari tempat produksi ke daerah-daerah di seluruh Indonesia, terutama Indonesia bagian timur. Dengan adanya ‘tol laut’ ini, dimungkinkan harga-harga kebutuhan pokok di daerah timur Indonesia bisa lebih murah dari sekarang karena tidak ada bongkar muat barang berkali-kali yang menyebabkan pembengkakan biaya dan otomatis mempengaruhi harga barang tersebut ketika sudah didistribusikan ke masyarakat.

Dari ide Jokowi ini sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai salah satu strategi pengemasan pariwisata Indonesia. Caranya adalah memakai jalur ‘tol laut’ tersebut untuk pariwisata minat khusus, yang mana jalur tersebut dipakai untuk membawa wisman berkeliling Indonesia memakai moda transportasi laut. Sebagai contoh, rute perjalanan langsung (direct) dari daerah Sumba ke daerah Bunaken,  Belitung ke Berau, bahkan bisa membuat rute dari Banda Neira ke Raja Ampat. Dengan adanya ‘tol laut’ yang menghubungkan kedua daerah, dengan sangat mudah wisman bisa bergerak untuk mengunjungi tempat lain setelah tempat sebelumnya sudah selesai dikunjungi. Karena melihat keadaan sekarang yang mengharuskan wisman untuk berpindah-pindah transportasi dalam mencapai tujuan daerah wisatanya sangat menyusahkan dan besar resiko untuk wisman tersebut membatalkan rencananya mengunjungi daerah tersebut. 

Wisman sendiri sangat menyukai hal-hal yang bersifat tradisional dan alami, karena salah satu tujuan mereka berwisata ke negara dunia ketiga seperti Indonesia adalah sisi budaya dan tradisionalitasnya itu. Dengan menggunakan ‘tol laut’, para wisman bisa melihat betapa luas dan indahnya kepulauan Indonesia sehingga mereka bisa merasakan sensasi berada di tengah lautan berhari-hari, merasakan sunrise ke sunset hingga sunrise lagi setiap harinya. Butuh sesuatu yang berbeda untuk hal yang mengagumkan. dengan adanya ‘tol laut’ sebagai salah satu strategi pengemasan pariwisata, diharapkan pariwisata Indonesia bisa bersaing dengan negara lain di ASEAN dalam rangka memenangkan persaingan di Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Tantangan yang Dihadapi
Kekayaan sumber daya alam Indonesia sudah tidak bisa diragukan lagi, namun kurang didukung dengan sumber daya manusia yang dimiliki, terutama di bidang pariwisata. Berbeda dengan SDM yang ada di negara-negara ASEAN lain seperti Singapura, Thailand, ataupun Malaysia sekalipun. Orang-orang di sana sudah sangat sadar bahwa pariwisata merupakan salah satu masa depan negara mereka yang sangat menjanjikan. Hal yang penulis soroti di sini bukanlah sumber daya manusia dari segi kuantitas, namun dari segi kualitas. Masih banyak manusia Indonesia yang tidak peduli dengan daerah sekitarnya yang menjadi tujuan wisata, berlevel nasional maupun internasional. Penulis tidak akan membahas tentang Bali yang sudah menjadi andalan pariwisata Indonesia sejak dulu kala, namun daerah-daerah yang menjadi prioritas dan andalan pemerintah Indonesia dalam mengeruk pemasukan bagi negara yakni Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika (NTB), Labuan Bajo (NTT), Bromo Tengger Semeru (Jawa Timur), Kepulauan Seribu (Jakarta), Danau Toba (Sumut), Wakatobi (Sultra), Tanjung Lesung (Banten), Morotai (Maluku Utara), dan Tanjung Kelayang (Belitung).

Ambil contoh Tanjung Kelayang di Belitung. Tempat ini terkenal karena meledaknya film Laskar Pelangi pada tahun 2008. Sejak saat itu, pariwisata di Belitung berkembang pesat. Ribuan wisatawan mulai berdatangan ke Belitung setiap bulannya. Bahkan, ada banyak penduduk yang beralih mata pencarian, yang semula penambang timah, beralih menjadi pelaku pariwisata. Namun, kesiapan pemerintah dan juga kualitas sumber daya manusia yang dimiliki untuk mengelolanya dirasa belum mampu untuk mewujudkan pariwisata Belitung yang maju. Penyebabnya bermacam-macam, tapi yang paling utama adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya masa depan pariwisata yang mempunyai keberlanjutan dimasa depan.

Dari semua hal di atas, untuk merebut pasar pariwisata di era MEA sekarang ini sebenarnya cukup mudah. Harus adanya sinergi dari berbagai pihak yang bersentuhan langsung dengan dunia pariwisata, dari yang pembuat kebijakan sang Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Pariwisata, hingga ke kelompok sadar wisata di daerah masing-masing. Jika semua pihak ini bersinergi dan mengabdikan diri seutuhnya pada kemajuan pariwisata Indonesia, pasar pariwisata ASEAN akan sangat mudah diraih. Jika semuanya sudah bersinergi, target pemerintah untuk mendatangkan 20 juta wisman pada tahun 2019 sangatlah mudah untuk dicapai.

..........................................
Tulisan ini juga dipublikasikan di sini

Senin, 18 Januari 2016

Digitalisasi Transportasi di Yogyakarta



sumber gambar di sini


Kemajuan teknologi sudah tidak bisa dielakkan lagi di abad 21 ini. Hampir semua sendi-sendi kehidupan manusia modern dirasuki dengan teknologi yang berkembang sangat cepat. Kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung mulai akrab dengan Gojek dan aplikasi transportasi online lainnya, walaupun beberapa waktu lalu sempat dilarang keberadaannya oleh pemerintah. Dengan Gojek, masyarakat bisa dengan mudah memesan layanan antar jemput itu hanya dengan beberapa sentuhan.

Kemudahan-kemudahan itu juga mulai terlihat di Yogyakarta beberapa waktu terakhir. Gojek mulai masuk ke Yogyakarta dan hal ini memudahkan mahasiswa dan masyarakat umum yang haus dengan transportasi yang mudah, aman, dan nyaman. Tidak hanya Gojek, beberapa waktu lalu, hadir juga aplikasi layanan ojek asli buatan warga Yogyakarta, OjekJogja (BangJek) ciptaan siswa kelas 12 SMA Muhammadiyah 1 Prambanan. Walaupun pemasarannya belum sampai membuat aplikasi berbasis android, tetapi ia memanfaatkan media sosial sebagai strategi pemasaran ojeknya. Selain moda transportasi roda dua, moda transportasi roda empat juga menyediakan hal serupa. Penyedia layanan taksi lokal di Yogyakarta mulai meluaskan pasar mereka dengan membuat aplikasi pemesanan taksi berbasis android. Sampai sekarang, sudah ada dua penyedia aplikasi layanan taksi di Yogyakarta, sayTaxi dan Pantega.

Menurut salah satu supir sayTaxi yang tidak mau disebutkan namanya, lonjakan konsumen sebelum dan setelah adanya aplikasi pemesanan online sangat signifikan. “Sebelum ada aplikasi online hanya 10 konsumen dalam sehari, setelah ada aplikasi bisa sampai 20 orang,” katanya. Menurutnya lagi, setelah ada aplikasi pemesanan online, konsumen yang menggunakan jasanya juga lebih banyak dari kalangan mahasiswa yang sebelumnya dari kalangan umum saja. “Adanya aplikasi ini sangat memudahkan masyarakat di tengah transportasi umum di Yogyakarta yang belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat,” cetusnya lagi.

Yogyakarta yang didiami oleh ratusan ribu mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia memang sudah menyediakan transportasi umum, yaitu Trans Jogja. Namun, Trans Jogja hanya memiliki rute di dalam kota saja dan belum menjadi pilihan utama transportasi masyarakat Yogyakarta. Selain itu, Trans Jogja juga dianggap belum nyaman oleh sebagian penggunanya disamping supirnya juga kadang ugal-ugalan di jalanan. Keadaan fisiknya pun masih dianggap belum layak untuk melayani masyarakat. Menurut Kepala Unit Pelaksana Tugas (UPT) Trans Jogja, Agus Minang, sampai tahun 2015, hanya ada 74 armada bus Trans Jogja yang melayani masyarakat di kota Yogyakarta dalam lima trayek. Namun, jumlah ini akan ditambah hingga 165 bus pada tahun 2016 ini. (Harianjogja.com tanggal 15 Januari 2015).

Akibat keadaan seperti di atas, makin banyak masyarakat Yogyakarta yang memilih untuk menggunakan transportasi yang menggunakan aplikasi online. Lebih mudah, aman, dan nyaman daripada transportasi umum yang disediakan di Yogyakarta. “Adanya aplikasi online ini malah membantu pemerintah Kota Yogyakarta dalam menyelesaikan masalah kemacetan di Yogyakarta, daripada harus memakai kendaraan pribadi yang malah menyebabkan polusi di Yogyakarta tambah parah,” lanjut supir taksi sayTaxi.

Menurut penulis, lebih baik memperbaiki kondisi Trans Jogja daripada harus mempercantik titik 0 km dengan batu-batu andesit yang urgensinya tidak terlalu tinggi. Dengan memperbaiki kondisi Trans Jogja, masyarakat dan wisatawan tidak akan berpikir dua kali jika ingin memakainya. Pemerintah dan pihak pengelola Trans Jogja juga bisa kerjasama dengan developer untuk mengembangkan Trans Jogja menjadi berbasis online seperti di Jakarta atau Singapura, rute atau trayek diperbanyak, dan pelayanan ditingkatkan. Dengan begitu, Jogja Istimewa akan mudah terwujud secara nyata.

..............................................................................................
Tulisan ini sudah dimuat di sini
Created By Sora Templates