Rabu, 14 Oktober 2015

Car Free Day : Yakinkah Bermanfaat?



(sumber gambar disini)

Kegiatan ini mulai menjamur diadakan di berbagai kota besar di Indonesia, seperti Surabaya, Yogyakarta, dan ibukota Jakarta. Car Free Day sendiri pertama kali dilaksanakan oleh Belanda pada hari Minggu, 25 November 1956. Di Indonesia, kegiatan ini pertama kali dilaksanakan di Jakarta, tepatnya di jalan Iman Bonjol. Kegiatan ini berhasil dilaksanakan setiap tahunnya, sampai pada tahun 2003, sebanyak 1500 di seluruh dunia melaksanakan Car Free Day secara serempak dan diikuti oleh lebih dari 112 juta umat manusia.

Namun, melihat perkembangan jaman dan perubahan pola hidup masyarakat sekarang ini, Car Free Day masih banyak manfaatnya?  Dari sisi positif, Car Free Day memang bisa berkontribusi untuk sedikit mengurangi polusi udara, itu pun hanya satu hari saja, bahkan itu juga tidak penuh selama 24 jam. Car Free Day di Jakarta sekarang berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Nomor 380 Tahun 2012 tentang Penetapan Lokasi, Jadwal dan Tata Cara Pelaksanaan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Provinsi DKI Jakarta hanya menetapkan waktu Car Free Day berlangsung dari pukul 06.00-11.00 saja.

Car Free Day sekarang ini juga bukan dijadikan sebagai ajang olahraga, namun dijadikan sebagai ajang gaya-gayaan bagi anak muda. Belum lagi jika mereka membawa makanan dan minuman, sampahnya pasti akan ditinggalkan oleh mereka di tempat mereka makan dan minum itu. Selain itu, karena pelaksanaan Car Free Day berakhir pukul 12.00 siang, maka penumpukan kendaraan di sekitar jalan tempat berlangsungnya Car Free Day pun menjadi padat dan membuat kemacetan. Menurut carfreedayindonesia.org, penumpukan kendaraan ini akan menyebabkan kenaikan emisi dan polusi secara cepat dan signifikan. Hal ini akan mengakibatkan udara menjadi lebih berpolusi dari hari-hari sebelumnya.

Tahun 2014 lalu, di Surabaya juga dilaksanakan Car Free Day di daerah Taman Bungkul. Car Free Day ini dilaksanakan oleh salah satu perusahaan es krim di Indonesia. Car Free Day ini membuat Walikota Risma marah karena Taman Bungkul rusak diinjak-injak warga saat berebut es krim gratis dari penyelenggara. Selain membuat kemacetan di sekitar Taman Bungkul, tanaman dan pohon-pohon di Taman Bungkul juga rusak akibat dari Car Free Day ini.

Sebenarnya, jika Car Free Day benar-benar dilaksanakan sebagai salah satu cara manusia untuk mengurangi polusi dan emisi di dunia ini, maka hasilnya akan sangat baik. Namun, jika kegiatan ini diikuti dengan kelakuan yang tidak semestinya, lebih baik Car Free Day tidak perlu dilaksanakan.
Masih banyak cara kita untuk bisa membantu mengurangi polusi dan keberlanjutan lingkungan kita. Hal mudah yang sehari-hari bisa kita lakukan adalah membawa tas belanja sendiri ketika belanja bulanan ataupun harian, dengan begitu, kita sudah bisa mengurangi penggunaan plastik yang sulit dicerna oleh bumi. Selain itu, meminimkan penggunaan tissue dan sedotan juga bisa membuat bumi kita sehat. Memang, hal-hal tersebut dirasa kecil dan mudah, tapi tidak semua orang bisa melakukannya. Namun, ketika hal-hal kecil tersebut kita lakukan bersama-sama, maka perubahan yang akan terjadi juga akan besar, bahkan bisa melebihi Car Free Day yang hanya dilakukan pada hari Minggu dan beberapa jam saja. Mari galakkan hidup sehat dan selamatkan lingkungan kita dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab! SALAM LESTARI!

Selasa, 30 Juni 2015

Hubungan Indonesia-Amerika Serikat Pada Masa Pemerintahan Megawati dibidang Militer (Pertahanan dan Keamanan)

George Walker Bush saat mendampingi Megawati di White House, US. Sumber foto
Tulisan ini merupakan tugas akhir mata kuliah Politik Global Amerika Serikat yang diampu oleh DR. Bambang Cipto, M.A dan diasisteni oleh Idham Badruzzaman.
...........................................................................................................................................................................



Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 2001, terdapat enam program yang ditekankan oleh Presiden Megawati dalam kabinetnya yang dinamakan Kabunet Gotong Royong, salah satu yang mendapat sorotan penting adalah implementasi politik luar negerinya yaitu melaksanakan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, memulihkan martabat negara dan bangsa, serta mengembalikan kepercayaan dari negara-negara asing, termasuk lembaga-lembaga donor internasional, investor, dan pemerintah. Presiden Megawati menambahkan, bahwa pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang intinya adalah untuk memulihkan martabat negara dan bangsa, serta mengembalikan kepercayaan dari negara-negara asing, harus pula memperhatikan pemulihan dan upaya untuk menjaga stabilitas keamanan nasional dan pertahanan. Sistem yang disiplin serta aparat keamanan yang efektif harus kita butuhkan, yang berada di bawah kendali pemerintah, tetapi tetap membawa aspirasi rakyat.
Perihal fokus utama politik luar negeri Indonesia yang menekankan pada ‘perbaikan image bangsa dan mengembalikan kepercayaan pihak dunia luar, maka unsur stabilitas keamanan di bawah pengawasan pemerintah, dengan tetap mengutamakan dan memperhatikan aspirasi masyarakat, dengan kata kunci penting; keamanan, pemerintah, dan masyarakat. Hal-hal tersebut dapat dikatakan merupakan hal-hal yang menjadi ciri khas pemerintahan Presiden Megawati dibandingkan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Lebih jauh Presiden Megawati juga melihat bahwa reformasi nasional dan penciptaan situasi masyarakat yang lebih demokratis memerlukan peran TNI yang dinamis, siap, dan mampu melakukan penyesuaian dengan berbagai perubahan yang ada.
Rakyat umumnya diarahkan untuk lebih berorientasi pada Polri, dan tidak perlu langsung berhubungan dengan aparat TNI dalam hal isu-isu menyangkut keamanan atas dirinya, keluaraganya, dan lingkungannya. Pola hubungan yang demikian menunjukkan bahwa Presiden Megawati konsisten perlunya penataan hubungan sipil-militer yang baru, berbeda dengan masa sebelumnya (terutama di era Orde Baru, dan pasca krisis 1999-2000). Hal tersebut juga akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan Presiden Megawati. Karena suatu bentuk penyesuaian terhadap hal-hal yang baru tidak mudah diimplememtasikan dalam waktu singkat dan diperlukan sosialisasi serta penyesuaian yang bersifat timbal balik. Namun, satu hal telah berani ditunjukkan oleh pemerintahan Presiden Megawati bahwa kalau di AS hubungan sipil dan polisi menjadi ‘kendali keamanan’ bagi masyarakat sipil umumnya, maka hal tersebut juga menjadi perhatian Indonesia. Intinya, Indonesia pun dapat melakukan sesuatu yang penting bagi hubungan sipil-militer.
Menunjang peran baru TNI maupun Polri tersebut, memang pemerintahan Presiden Megawati tampaknya cukup sibuk, karena berbagai ketentuan maupun perundangan mau tidak mau harus pula diwujudkan, disamping soal-soal yang terkait dengan logistik persenjataan yang perlu diperbaharui (mengingat banyak komponen Alutsista yang tidak layak lagi untuk dipertahankan). Dalam hal yang terakhir ini, merupakan hal yang cukup sulit bagi Indonesia untuk menyakinkan pihak-pihak di AS (para anggota Kongres maupun Senat) yang sejak kasus Peristiwa Berdarah di Dilli (1999) ‘makin memperketat’ embargo senjata terhadap Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, bagi pemerintahan Presiden Megawati bukanlah hal yang mudah, karena disamping harus menyakinkan pihak-pihak di AS – Indonesia juga tidak luput dari berbagai kasus pelanggaran HAM dan konflik di wilayah di Indonesia Timur (Poso, Palu, Maluku Utara, Papua Barat), dan wilayah Aceh. Ini berarti pula bahwa Presiden Megawati harus menghadapi tantangan dalam bentuk dua pihak sekaligus yaitu; konflik-konflik etnis di tingkat domestik yang meningkat pada pasca reformasi, dan tantangan diplomasi terhadap AS yang tidak ringan, dimana tidak saja harus melakukan respon tapi juga harus merebut simpati terutama pihak Kongres dan Senat di AS.
Oleh sebab itulah upaya reformasi hubungan sipil-militer semasa pemerintahan Presiden Megawati tidak hanya penting bagi konteks politik domestik, tapi hal itu menjadi basis utama agar image militer Indonesia di mata AS maupun negara-negara Barat lainnya makin baik. Menindaklanjuti upaya tersebut, Presiden Megawati mengunjungi AS seminggu setelah peristiwa ‘nine-eleven’ (11 September 2001), dan beliau merupakan pimpinan negara berkembang pertama yang bertemu dengan Presiden George Bush pasca kejadian itu. Begitu pula berbagai transaksi lobi dan pekerjaam public relations dengan mitra AS terus dilakukan sampai 2004 (termasuk dengan bekas senator AS, Bob Dole, Alston and Bird.
Upaya berbagai pihak di era Megawati tersebut akhirnya berbuah hasil, yaitu Collin Powell pada Januari 2005 mengatakan akan menawarkan suku cadang untuk pesawat militer C-130. Kendatipun tawaran AS tersebut muncul setelah terjadinya tsunami dahsyat di Aceh, namun pihak-pihak LSM pemerhati HAM di AS maupun dunia umumnya tetap mengecam kebijakan Powell tersebut dengan mengatakan tsunami seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mendukung militer Indonesia. Alhasil dari kasus C-130 tersebut upaya diplomasi semasa pemerintahan Presiden Megawati tidak langsung berbuah hasil, tapi justru baru terkabul setelah Megawati tidak lagi memerintah (Januari 2005).
Disamping kunjungan Presiden Megawati ke Washington pada pertengahan September 2001, Presiden George Bush Jr. Kembali bertemu dengan kepala negara Republik Indonesia tersebut pada 22 Oktober 2003 di Bali International airport, Bali Denpasar. Pertemuan tersebut kembali melahirkan Joint Press Availability antara kedua kepala negera tersebut. Presiden Megawati kembali menekankan beberapa poin penting dalam pembicaraan yang bersifat bilateral antara Indonesia-Amerika Serikat isu-isu yang penting dan mendapatkan perhatian bersama yaitu menyangkut terorisme, perkembangan demokrasi di Indonesia, dan dukungan Amerika terhadap militer Indonesia. Menanggapi pernyataan Presiden Megawati tersebut, Presiden George Bush tampaknya tidak keberatan dengan hal-hal yang menjadi perhatian Indonesia tersebut, dan secara umum dapat dikatakan terdapat kesamaan pandangan antar kedua negara dan atas poin-poin tersebut. Ini merupakan pertanda penting bahwa hubungan baik dan erat antar kedua negara perlu dilandasai oleh pandangan yang sama menyangkut respon terhadap teror.

Kesimpulan
Hal-hal diatas mengindikasikan bahwa baik pemerintah AS dibawah Presiden George Bush Jr dan Presiden Megawati sudah saling mengerti dan saling menunjang akan perlunya kerjasama yang lebih erat di berbagai bidang. Kendatipun Indonesia adalah penduduk Muslim terbesar di dunia dan negara nomor tiga yang menganut sistem politik demokrasi, namun kesamaan pandang dalam hal penanganan soal-soal teroris dan keamanan dalam arti luas, telah cukup memberikan dampak positif. Ini berarti bahwa pemerintahan Presiden George Bush Jr makin yakin, bahwa Islam, demokrasi, dan teroris bukan menjadi prioritas asumsi yang saling berhubungan dan tumbuh subur di Indonesia. Teroris memang masih ada di bumi Indonesia, namun pemimpin seperti Presiden Megawati tetap yakin dan konsisten bahwa Indonesia tidak pernah mau berkompromi dengan para teroris. Hal-hal tersebut merupakan makna penting bagi hubungan Indonesia dan Amerika Serikat pasca peristiwa ‘nine-eleven’.
 ..........................................................................................................................................................................
Referensi
Mas'oed, Mochtar. (1989). Studi Hubungan Internasional : Tingkat Analisis dan
         Teoritisasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
             Nye, Joseph. S. (1992). Memimpin Dunia, Sifat Kekuatan Amerika yang Berubah.   
         Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wuryandari, G. (2008). Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik.  
         Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
...........................................................................................................................................................................

Senin, 22 Juni 2015

Prostitusi Bergerigi 2



               Sebuah tempat yang berada di tengah-tengah kota. Sebuah tempat yang sepuluh menit sekali kebisingan karena ada kereta api lewat. Sebuah tempat yang ‘katanya’ milik Raja Yogyakarta tetapi malah menjadi salah satu tempat lokalisasi termahsyur di kota ini. Gang panjang dengan tembok di kiri kanan akan mengantarkanmu sebelum sampai ke tempat lokalisasi. Mereka hidup berdampingan dan harmoni dengan masyarakat sekitar. Hidupku, hidupku. Hidupmu, hidupmu; mungkin kata-kata itu yang mereka pegang sehingga bisa harmonis sampai sekarang. Sekalipun tempat ini adalah tempat lokalisasi, mereka tidak melupakan kewajiban mereka dalam beragama, di sini ada sebuah masjid yang cukup besar dan megah. Semacam mawar merah yang tumbuh dalam padang sahara.
            “Silakan, masuk aja. Maaf tempatnya memang cuma segini,” kata Mbak Luna saat aku dan temanku, Baiq Rita, memasuki ruangan pelatihan.
            Ruangannya sekitar 3m x 4m mirip kos-kosan, tetapi dindingnya hanya terbuat dari triplek-triplek yang ditempeli spanduk bekas kampanye para eksekutif. Untuk meminimalkan rasa gerah, ada sebuah kipas angin mini yang berada di langit-langit dan setiap kipas berputar pasti berbunyi seperti detak jam berdenting. Ruang ini berdempet dengan warung-warung kecil punya warga, atau biasa mereka pakai sebagai tempat transit. Jaraknya dengan rel kereta api pun hanya kurang dari tiga meter. Pintunya terbuat dari bambu yang dilapisi terpal yang ketika kereta api lewat terpal itu berkibar bak sang Saka karena tertiup angin hembusan kereta api.
            “Selamat sore Ibu-ibu. Perkenalkan saya Bryan dan teman saya Baiq Rita dari UMY ingin berbagi sedikit ilmu kami tentang kepenulisan,” aku membuka forum ini dengan sangat gugup.
            Tiba-tiba seorang perempuan yang duduk di pojokan sambil bersender dan dengan muka sedikit cemberut memprotes.
            “Jangan panggil Ibu dong, mas! Panggil Mbak saja. Kan kami belum tua-tua!” celetuk wanita itu.
            Aku terkejut. Kesalahan pertama!
            “Jadi, hari ini kita akan belajar menulis tentang kehidupan Mbak-mbak dari kecil sampai sekarang terjun menjadi seorang pekerja seks komersial. Nantinya, tulisan-tulisan Mbak akan kami bukukan supaya masyarakat mengerti tentang keadaan pekerja seks komersial seperti Mbak-mbak ini dari kacamata Mbak sendiri. Tujuannya supaya tidak ada lagi kata diskriminasi untuk pekerjaan Mbak sebagai pekerja seks komersial,” kataku panjang lebar.
            Tiba-tiba ada yang tunjuk tangan lagi tanda ada pertanyaan, atau protes (lagi). Mati aku.
            “Mas, tolong kata komersialnya dihilangkan ya,” kata wanita itu.
            Kesalahan kedua!
            “Oh iya Mbak, maaf. Baiklah, sekarang mari kita menulis!” seruku menahan malu.
            Pertemuan pertama itu aku jalani dengan penuh kesalahan. Kesalahan yang sebenarnya tak perlu terjadi. Ketakutanku yang pertama terjadi. Aku kurang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dan kondisi mereka.
*bersambung*

Kamis, 11 Juni 2015

Kontes Robot Indonesia 2015 di Yogyakarta

            Yogyakarta menjadi tuan rumah Kontes Robot Indonesia (KRI) 2015 yang kegiatannya dipusatkan di gedung Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). KRI 2015 akan dilaksanakan mulai 11-14 Juni 2015. Peserta KRI 2015 ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia, terjauh bagian barat dari Medan, Sumatera Utara dan bagian timur dari Manado, Sulawesi Utara. Berikut ini foto-foto persiapan gedung Sportorium UMY dalam melaksanakan KRI 2015 :


















Sabtu, 16 Mei 2015

Prostitusi Bergerigi



“Gimana, Bry? Jadi mau ikutan, ga?” tanya Erwin.
“Gimana ya, Win? Aku masih bingung. Bahaya ga sih?” sahutku sambil tertawa.
“Aku tunggu sampai besok ya Bry jawabannya. Kalau mau ikut langsung kontak aku aja,” timpal Erwin.
Hari Rabu bulan September 2014 aku diajak teman seorganisasiku, Erwin Rasyid, mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa ke-28. Setahun sebelumnya aku juga pernah mengikuti program serupa, jadi aku tidak terlalu asing dengan nama programnya. Aku berpikir dua kali untuk mengiyakan ajakan Erwin karena tema yang diangkat di program Erwin ini. Temanya adalah ‘Advokasi Perempuan Pekerja Seks Melalui Citizen Journalism’. Perempuan Pekerja Seks? Sangat diluar bayanganku saat itu. Aku membayangkan jika aku menerima ajakan Erwin aku akan ‘bergaul’ dengan perempuan-perempuan pemanen dosa. Aku takut, sebagai pria normal, akan tergoda jika aku ‘bergaul’ dengan mereka. Aku membayangkan jika aku menerima ajakan Erwin, aku akan dicekoki minuman keras oleh mereka sehingga aku mabuk, lalu aku tidak sadarkan diri dan ketika bangun aku sudah berada di sebuah kamar dengan perempuan di sampingku. Aku terlalu terbuai dengan cerita-cerita murahan sinema televisi saat aku kecil yang hampir setiap hari aku tonton. Aku bimbang; ya atau tidak. 
Keesokan harinya, aku kembali bertemu dengan Erwin. Aku sedikit tak acuh padanya ketika bertemu. Aku malas bertemu dengannya karena pasti aku akan ditanyai lagi tentang ajakan dia kemarin.
“Hei, Bry! Gimana? Ya atau tidak?” akhirnya dia bertanya.
“Eh, Win! Hehehe. Gimana ya, Win? Aku bingung, Win,” sahutku.
“Kapan lagi bisa berkontribusi untuk masyarakat kalau ga sekarang Bry?! Kapan lagi bisa dekat dengan mereka-mereka? Selama ini kita hanya melihat mereka dari luarnya saja, kita belum pernah melihat apa yang sesungguhnya terjadi dibalik profesi mereka kan?” Erwin meyakinkanku.
Terkesiap aku mendengarnya. Aku mulai bertanya-tanya, apakah mereka sengaja ingin berprofesi sebagai pemuas nafsu pria tidak tahu malu? Atau malah mereka berprofesi seperti itu karena terjebak dalam skenario konspirasi orang-orang biadab? Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, aku iyakan ajakan Erwin. Toh nanti disana aku akan saling belajar dengan mereka tentang ilmu jurnalistik. Jadi, tidak akan ada kata mabuk-mabukan disana. Aku luruskan niatku untuk mencoba berbagi ilmuku tentang jurnalistik kepada mereka. Dengan menyebut nama Allaah yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang.
***
            Dua bulan berselang, proposal program kami –Aku, Erwin, Laila, Hilmi dan Dea— akhirnya disetujui oleh Direktorat Pendidikan Tinggi untuk kami laksanakan program kami di lokalisasi di sekitar kota Yogyakarta. Dana yang disetujui pun sekitar 95 % dari yang kami usulkan. Kami mulai merancang modul, perlengkapan, peralatan, dan segala kebutuhan kami untuk melaksanakan program yang tidak biasa ini. Bagaimana tidak? Selama sekitar tiga bulan kami akan bercokol di tempat lokalisasi yang sebelumnya membayangkannya saja tak pernah.
            Akan aku jelaskan sedikit inti dari program kami ini. Program ini adalah sebuah wadah advokasi untuk para Perempuan Pekerja Seks (PPS) melalui citizen journalism. Dimana di program ini kami akan mengajak para PPS ini untuk mengadvokasi diri melalui tulisan, baik itu berita, cerita, hingga dalam bentuk puisi sekalipun. Dengan cara ini, mereka diharapkan mampu membuka mata dan pikiran orang-orang di luar sana yang menganggap mereka hanya sampah masyarakat. Tetapi, sebenarnya mereka hanyalah korban dari orang-orang biadab yang hanya mengincar kenikmatan dan keuntungan untuk kantong mereka sendiri. Keluaran yang diharapkan dari program ini adalah buku yang sedang kalian pegang sekarang. Tulisan dalam buku ini adalah tulisan mereka sendiri, para PPS yang banyak mendapat celaan, cercaan, dan cemoohan dari masyarakat; mungkin termasuk Anda.
            Aku, Hilmi, dan Laila masing-masing ditugaskan menjadi pelatih PPS di tiga tempat lokalisasi yang telah dipilih : Ngebong, Giwangan, dan Pasar Kembang. Satu kali dalam seminggu selama satu bulan kami akan berkunjung ke masing-masing tempat itu untuk melakukan pelatihan jurnalistik. Kebetulan aku mendapatkan tempat yang cukup dekat dengan kosku : Ngebong. Laila di Pasar Kembang dan Hilmi di Giwangan. Sedangkan Erwin dan Dea akan menyiapkan acara launching bukunya. Aku gerogi. Bisakah aku? Apakah aku mampu untuk membawa suasana yang kondusif bersama dengan PPS yang dalam pikiranku saja aku takut dengan mereka.
***
bersambung~

Kamis, 30 April 2015

REVIEW - Shamitabh




Film drama India ini mengisahkan tentang seorang pria asal daerah kecil di India yang bisu tetapi ia mempunyai bakat dan minat yang besar pada dunia akting. Bakat itu ia latih terus sejak ia kecil sampai ia dewasa ia ingin ke Mumbai untuk mencoba peruntungannya di Bollywood. Tetapi, ibunya tidak mengijinkannya karena ibunya hanya seorang diri, sedangkan ayahnya sudah lama meninggal. Suatu hari, sampailah pada keadaan dimana ibunya harus meninggalkan dirinya selama-lamanya. Ia sangat sedih dan memutuskan untuk meninggalkan desanya untuk pergi ke Mumbai : The City of Movie!

Karena ia bisu, tidak bisa berbicara sedikitpun, maka bakat emas yang ia miliki untuk menjadi aktor terkenal terhambat. Berbagai cara ia lakukan untuk bisa menjadi aktor, sampai ia bertemu dengan seorang asisten sutradara yang akan membawanya ke pintu ketenaran. Sang asisten sutradara melihat kemampuan aktingnya yang sangat menakjubkan dan ia menunjukkannya dengan sutradaranya. Sutradaranya pun terpukau dengan kemampuan aktingnya. Namun, kendalanya ialah ia tidak bisa bersuara, menjadikan ia tidak bisa diterima menjadi aktor sang sutradara.

Pupus sudah harapan Danish untuk bisa menjadi aktor besar di Mumbai. Ia memutuskan untuk kembali ke desanya. Tapi, ia terkejut saat asisten sutradara menyusulnya ke terminal bus dan memberitahu bahwa ada teknologi yang bisa mengisi suaranya. Dibawalah ia ke Finlandia untuk menjalani perawatan dan pemasangan chip yang bisa membuatnya bicara dengan meminjam suara orang lain.

Mulai saat itu ia mulai mencari suara seperti apa yang cocok dengan mimik mukanya sampai ia menemukan seorang kakek tua bernama Amitabh (Amitabh Bachan) di dekat lokasi syuting asisten sutradara. Sejak itu hidup Danish berubah. Ia mendapat banyak tawaran membintangi film. Cita-citanya menjadi aktor terkenal bisa terwujud walaupun ia bisu. Tapi, ia harus berusaha sekuat tenaga agar penggemar dan orang-orang tidak mengetahui kalau suara dia sekarang adalah suara orang lain.

Suatu hari, seorang wartawan mengetahui kejanggalan ketika Shamitabh (Danish) sedang berbicara. Tidak sinkronnya antara bibir dengan ucapan yang dikeluarkan. Sang wartawan pun mencari tahu sampai ke daerah asal Shamitabh dan akhirnya ia mengetahui bahwa Shamitabh adalah seorang yang bisu. Sang wartawan berencana untuk membongkar kebohongan Shamitabh saat peluncuran film terbarunya. Tapi, takdir berkehendak lain, dalam perjalanan Shamitabh menuju tempat peluncuran film, ia mengalami kecelakaan dan tewas saat itu juga.

Pelajaran yang bisa kita petik dari film ini adalah bagaimanapun kekurangan yang kau miliki, kau pasti memiliki sebuah kelebihan yang tak dimiliki oleh orang lain. Bermimpilah yang tinggi dan genggam erat mimpimu itu sampai menjadi nyata. Kelebihan film ini adalah ceritanya yang tidak bisa diduga-duga. Setiap dialognya pun penuh makna. Selain itu, tidak seperti kebanyakan film India, film ini hanya sekali scene yang ada menampilkan tari-tarian khas film India. Kekurangan film ini tidak terlalu kelihatan karena sudah dicover dengan alur cerita yang ciamik. Nilai untuk film ini versi saya 8.7/10. (sumber foto : dailymotion.com)

Minggu, 26 April 2015

Mari Berubah Untuk Bumi yang Lestari!


 Lingkungan menjadi salah satu isu global kontemporer yang mulai banyak dibicarakan oleh orang-orang, kecil-besar, pria-wanita, kakek-nenek; semua orang. Bagaimana tidak, tempat kita hidup ini telah banyak dinodai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mulai dari menebangi pohon secara ilegal yang menyebabkan hutan-hutan menjadi gundul, limbah-limbah pabrik yang mengalir ke arah pemukiman warga menyebabkan air tercemar, adanya polusi udara dan suara yang makin banyak terjadi bukan hanya di daerah perkotaan saja, tetapi juga telah merambah ke pedesaan-pedesaan, sampai kepada hal-hal kecil, yakni buang sampah sembarangan.

Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang didalamnya berisi sanksi yang harus ditanggung pelaku jika melakukan penebangan pohon secara ilegal. Sanksi itu diatur dalam pasal 78 angka (1) sampai dengan angka (13). Pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan tentang hukuman bagi pembuang sampah sembarangan. Ya, walaupun hanya sebatas di kawasan Jabodetabek. Seperti yang tertera pada Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kebersihan yang mengharuskan warga membayar denda 150.000 dan peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang mengharuskan pedagang kaki lima yang membuang sampah sembarangan membayar denda 100.000.

Kita sebagai pemuda Indonesia yang dimasa depan akan memimpin negara ini seharusnya sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Menjaga lingkungan tidak hanya sebatas membuang sampah pada tempatnya, tetapi juga menyadarkan orang-orang sekitar kita bagaimana cara membuang sampah yang tepat, tidak hanya benar. Menurut saya, kalimat 'Buanglah sampah pada tempatnya' itu harus segera diubah dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat kita. Karena kata tempatnya itu bisa ditafsirkan bermacam-macam. Jika orang yang acuh tak acuh, kata tempatnya bisa diartikan dimana saja, termasuk tempat umum. Jika orang yang acuh mungkin akan menganggap tempatnya itu ya di tempat sampah. Sebaiknya kalimat itu diganti dengan 'Buanglah sampah di tempat sampah'.

Terkait dengan menyadarkan orang-orang sekitar kita tentang lingkungan memang lumayan sulit. Karena orang-orang Indonesia sudah sangat mengakar budaya membuang sampah sembarangan. Kesalahan yang terus-menerus dilakukan sehingga dianggap benar oleh khalayak. Diperlukan waktu yang lama untuk bisa mengubah kebiasaan ini. Selain membuang sampah, hal kecil yang akan membuat bumi menjadi lebih 'dingin' ialah mengurangi penggunaan sedotan, botol plastik, dan benda-benda sekali pakai yang terbuat dari plastik. Memang ini adalah hal kecil, tetapi jika hal kecil itu kita lakukan bersama-sama, percayalah akan membawa dampak besar bagi ketahanan bumi kita ini.

Kita memang tidak akan mungkin menghilangkan plastik dari kehidupan kita, tetapi setidaknya bisa mengurangi penggunaannya. Seperti yang diceritakan oleh teman saya yang juga menjabat sebagai ketua salah satu organisasi berbasis lingkungan di Yogyakarta. Kita analogikan orang gemuk yang ingin menurunkan berat badan itu sebagai kita yang ingin diet plastik. Dia tidak mungkin menghilangkan nasi atau karbohidrat sama sekali dalam menu makanannya, tetapi dia akan berusaha untuk mengurangi kuantitasnya ke dalam tubuhnya. Begitu juga dengan kita. Tidak mungkin kita bisa lepas dari yang namanya plastik. Tapi, bukan tidak mungkin kita bisa mengurangi pemakaiannya dengan membawa tas sendiri misalnya.

Banyak cara yang bisa kita lakukan guna menyelamatkan Bumi kita ini, misalnya membawa tas sendiri jika ingin berbelanja, membawa botol air minum atau tumbler, memanfaatkan kertas bekas, dan masih banyak yang lainnya. Saat ini juga banyak bermunculan organisasi-organisasi yang berbasis lingkungan. Contohnya adalah Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI), World Wildlife Fund, Earth Hour, Greenpeace, dan masih banyak yang lainnya. Dasarnya tujuan mereka sama : bagaimana caranya supaya bumi ini lestari, hijau, dan berseri lagi seperti dahulu kala, dan ingin menjamin bahwa dimasa depan anak dan cucu kita masih bisa merasakan sejuk dan segarnya udara dimana ia hidup. Dengan munculnya berbagai organisasi tersebut, diharapkan mampu untuk menggerakkan massa yang lebih banyak supaya lingkungan kita terjaga dan jauh dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Tetapi, dengan bergabung ke organisasi-organisasi itu belum serta merta menjadikan kita orang yang paling peduli terhadap lingkungan. Bahkan, ada yang ikut organisasi lingkungan, tapi hal itu hanya untuk gaya-gayaan khas anak muda jaman sekarang. Seperti kata teman satu organisasi saya, bahwa gaya hiduplah yang menentukan kita bisa dikatakan peduli atau tidak dengan lingkungan.

Mari berubah untuk bumi yang lestari! Jangan malu untuk mengatakan tidak saat ditawari menggunakan plastik oleh pelayan supermarket. Jangan malu untuk langsung minum dari gelas tanpa sedotan. Jangan iba mengambil sampah yang ada didekatmu lalu buanglah di tempat sampah terdekat. Jika kita bersatu, niscaya bumi kita akan segar kembali.

Kamis, 16 April 2015

Betapa Ngerinya Negeri Ini!




Terik panas dan perut yang mengaum mengantarkanku ke arah penjaja makanan yang banyak berada di belakang kampus. Jalanan ramai dengan lalu lalang motor dan pejalan kaki yang aku taksir juga merasakan hal yang sama denganku : lapar. Walaupun sudah tinggal selama hampir dua tahun disini, aku masih belum terlalu hafal dimana tempat makan yang patut dikunjungi untuk jam-jam saat itu. Setelah lama berpikir sambil menunggangi motorku yang lama tidak diservice, aku memutuskan untuk makan di tempat biasanya. Ada lauk kesukaanku disana : ayam bumbu hijau pedas. Tempat makannya sempit, tapi di tepi jalan.Bapak penjaganya ramah dan baik. Istrinya juga cantik, tipikal-tipikal wanita incaran para pria saat masih SMA. Lauk-pauknya masih berasap ketika aku datang. Kalau aku punya dua perut, akan aku cicipi semua lauk yang terhidang di etalase itu.

"Pak, bungkus!"

Dengan sigap bapak penjaga warung makan itu melayaniku. Aku memilih lauk tempe kering, sayur kangkung, sambal, dan tentunya ayam bumbu hijau pedas. Tak lupa aku sisipkan tempe goreng yang juga masih berasap ke dalam bungkusan makananku sebelum dijepret bapaknya. Aku juga memesan sebungkus es jeruk untuk menguras mulutku nanti ketika seusai makan. Makanan di tempat ini serasa makanan warungku di Purwokerto, walaupun tidak sama persis. Karena itu, setiap aku makan di tempat ini aku teringat dengan warungku disana.

Sembari menunggu es jerukku diracik, aku melongok ke dalam rumah pemilik warung makan itu. Terlihat  jelas ada seorang anak kecil, sebut saja namanya Dicky, yang menunggui ibunya meracik es jeruk pesananku. Aku longok semakin dalam, Dicky sedang menyaksikan dan mendengarkan lantunan lagu anak-anak yang terdengar ceria sekali. Lagu anak-anak itu dikemas dalam sebuah video klip yang sangat apik. Di video klip, anak kecil berumur sekitar 7 tahun digambarkan sedang asik bermain robot-robotan bersama tiga teman lainnya. Mereka berputar ceria tertawa lepas sambil memegang robotnya masing-masing, membuat setiap orang yang melihatnya pasti ingin tertawa; minimal tersungging. Aku pun juga awalnya tidak bisa menyembunyikan sungginganku, sampai akhirnya aku berpikir bahwa inilah yang seharusnya dilakukan oleh anak kecil seumur mereka!

Aku terlempar ke memoriku sepuluh tahun yang lalu. Saat aku seumuran dengan Dicky, aku pasti sedang bersama dengan teman-temanku. Bermain gundu (kelereng), badok, tepok lelek, bahkan main balon. Banyak hal yang bisa terjadi ketika kami -aku dan temanku- bermain bersama. Pernah suatu hari ketika kami bermain tepok lelek, aku menjadi penangkap dan temanku jadi penolak. Ketika aku hampir menangkap umpannya dengan tangan kiriku sambil meloncat, aku terjerembab ke tanah bercampur bebatuan. Kenapa aku sebut dengan tangan kiri? Karena kalau menangkap dengan tangan kiri poinmu akan lebih tinggi daripada menangkap dengan tangan kanan. Sakit, perih, dan aliran darah langsung teralir di pelipis kananku; pelipisku menghentak ke bebatuan.

Kadang, hal semacam itulah yang membekas dibenak, daripada mendapatkan uang banyak ketika bermain CoC. Kebersamaan dengan temanmulah yang akan kamu kenang, daripada teman imajiner ketika bermain game online. Aku tidak mengatakan bahwa game online atau CoC itu tidak bisa dikenang oleh orang yang memainkannya. Tapi, bisa aku pastikan, ada rasa yang berbeda ketika kamu bermain dengan teman nyata dan segala kelakuan usilnya, daripada bermain dengan teman imajiner yang tak tahu bagaimana rimbanya.

Kembali ke video klip lagu anak-anak di warung makan. Dicky bahkan sempat aku lihat meniru gerakan-gerakan yang ada di video klip yang ia tonton. Sangat gembira sekali. Tapi, aku sempat tertegun. Bagaimana tidak, anak-anak kecil yang seumuran dengan Dicky sekarang ini lebih banyak menonton dan/atau mendengar lagu-lagu orang dewasa yang semakin kurang ajar dengan anak-anak. Mereka menyuguhkan lirik-lirik yang nakal dan tidak berperikeanak-anakan. Dengan seenaknya mereka mempertontonkan lekuk tubuh mereka di layar kaca. Anak-anak kurang asupan lagu yang pas dengan umur mereka. Mereka kurang mendapatkan ruang di layar kaca untuk membuat mereka terdidik dan menumbuhkan kreatifitas mereka. Mereka haus dengan tontonan-tontonan 'anak-anak'.

Aku terlempar lagi ke memoriku sepuluh tahun yang lalu. Saat pulang sekolah, sekitar jam 10 pagi, aku langsung menyalakan televisi dan aku langsung disuguhkan tontonan yang sangat menarik. Dulu, ada Power Rangers, Teletubies, Tralala-tralili, dan kalau hari Minggu tiba aku akan berusaha bangun sepagi mungkin untuk menikmati tontonan kartun berkualitas, mulai dari Pokemon jam 7 pagi, Tsubatsa jam 7.30 pagi, kemudian Doraemon jam 8 pagi, diikuti Shinchan, Power Rangers, dan tontonan lainnya. Dulu, hari Minggu itu adalah hari kebebasan bagi anak-anak, setidaknya bagiku,  karena Minggu adalah hari dimana remot televisi berada dalam kekuasaanku sepenuhnya.

Kalau kita longok keadaan hari ini, anak-anak pulang sekolah sekitar jam 10 pagi. Lalu, mereka membuka televisi. Apa yang mereka lihat? Kartun? Bukan. Tapi, orang-orang yang dibayar hanya untuk tertawa dan bergoyang ketika disuguhkan nyanyian-nyanyian berlirik nakal dan tidak mendidik. Tontonan yang membuat pikiran mereka tergoncang karena mereka melihat tayangan ejek-ejekan, pukul-pukulan, bunuh-bunuhan, kosa-perkosaan, curi-mencuri, dan lainnya. Tayangan ini bukan tidak mungkin akan mereka rekam dalam ingatan mereka, dan ketika kesempatan itu ada mereka akan menirukan apa yang mereka lihat.

Pun tak bisa dipungkiri, anak-anak sekarang sudah tidak bisa lepas dari gadget berteknologi canggih. Kemanapun pasti mereka menyakui gadget canggih pembelian orang tua mereka. Seakan orang tua ingin menyampaikan, “saya belikan mereka gadget karena saya tidak ingin repot mengurusi ketika mengajak mereka keluar rumah. Dengan bermain gadget, mereka pasti akan fokus pada gadgetnya, tidak akan merecoki.” Selain merusak mental mereka, cekokan gadget juga bisa merusak kemampuan interaksi dan komunikasi mereka. Mereka akan sulit beradaptasi pada lingkungan baru. Mereka akan sulit mendapatkan teman, ya, karena teman mereka kebanyakan imajiner di dalam gadget. Coba bandingkan dengan anak-anak jaman dulu. Pegangan anak jaman dulu ya kalau tidak Gamebot pasti badok atau gundu. Suasana pertemanan sangat kental ketika aku masih kecil. Setiap sore pasti ke lapangan, bermain bola, layangan, atau sekedar ngobrol-ngobrol kecil yang sekarang dikenal dengan istilah quality time. Dulu, waktu satu hari itu serasa panjang sekali.

Globalisasi dan modernitas memang tidak bisa dilepaskan sebagai penyebab ini semua. Tapi, ketika semua itu disalahgunakan, seperti sekarang ini, maka akan berdampak pada tumbuh kembang anak Indonesia yang semakin tahun semakin mencemaskan. Sekarang saja sudah banyak anak-anak yang terlilit kasus kriminal, bahkan sampai pada kasus pembunuhan. Hal itu tidak bisa lepas dari tontonan mereka sehari-hari, termasuk sinetron-sinetron, reality show, variety show, dan show-show lainnya. Sedikit banyak pasti mereka belajar dari sana. Kalau tidak ada tindakan yang nyata dan tegas untuk mengatasi hal ini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kelanjutan negeri ini ditangan anak-anak yang kecilnya dicekoki tontonan seperti itu. Betapa ngerinya negeri ini

Created By Sora Templates