Senin, 22 Juni 2015

Prostitusi Bergerigi 2



               Sebuah tempat yang berada di tengah-tengah kota. Sebuah tempat yang sepuluh menit sekali kebisingan karena ada kereta api lewat. Sebuah tempat yang ‘katanya’ milik Raja Yogyakarta tetapi malah menjadi salah satu tempat lokalisasi termahsyur di kota ini. Gang panjang dengan tembok di kiri kanan akan mengantarkanmu sebelum sampai ke tempat lokalisasi. Mereka hidup berdampingan dan harmoni dengan masyarakat sekitar. Hidupku, hidupku. Hidupmu, hidupmu; mungkin kata-kata itu yang mereka pegang sehingga bisa harmonis sampai sekarang. Sekalipun tempat ini adalah tempat lokalisasi, mereka tidak melupakan kewajiban mereka dalam beragama, di sini ada sebuah masjid yang cukup besar dan megah. Semacam mawar merah yang tumbuh dalam padang sahara.
            “Silakan, masuk aja. Maaf tempatnya memang cuma segini,” kata Mbak Luna saat aku dan temanku, Baiq Rita, memasuki ruangan pelatihan.
            Ruangannya sekitar 3m x 4m mirip kos-kosan, tetapi dindingnya hanya terbuat dari triplek-triplek yang ditempeli spanduk bekas kampanye para eksekutif. Untuk meminimalkan rasa gerah, ada sebuah kipas angin mini yang berada di langit-langit dan setiap kipas berputar pasti berbunyi seperti detak jam berdenting. Ruang ini berdempet dengan warung-warung kecil punya warga, atau biasa mereka pakai sebagai tempat transit. Jaraknya dengan rel kereta api pun hanya kurang dari tiga meter. Pintunya terbuat dari bambu yang dilapisi terpal yang ketika kereta api lewat terpal itu berkibar bak sang Saka karena tertiup angin hembusan kereta api.
            “Selamat sore Ibu-ibu. Perkenalkan saya Bryan dan teman saya Baiq Rita dari UMY ingin berbagi sedikit ilmu kami tentang kepenulisan,” aku membuka forum ini dengan sangat gugup.
            Tiba-tiba seorang perempuan yang duduk di pojokan sambil bersender dan dengan muka sedikit cemberut memprotes.
            “Jangan panggil Ibu dong, mas! Panggil Mbak saja. Kan kami belum tua-tua!” celetuk wanita itu.
            Aku terkejut. Kesalahan pertama!
            “Jadi, hari ini kita akan belajar menulis tentang kehidupan Mbak-mbak dari kecil sampai sekarang terjun menjadi seorang pekerja seks komersial. Nantinya, tulisan-tulisan Mbak akan kami bukukan supaya masyarakat mengerti tentang keadaan pekerja seks komersial seperti Mbak-mbak ini dari kacamata Mbak sendiri. Tujuannya supaya tidak ada lagi kata diskriminasi untuk pekerjaan Mbak sebagai pekerja seks komersial,” kataku panjang lebar.
            Tiba-tiba ada yang tunjuk tangan lagi tanda ada pertanyaan, atau protes (lagi). Mati aku.
            “Mas, tolong kata komersialnya dihilangkan ya,” kata wanita itu.
            Kesalahan kedua!
            “Oh iya Mbak, maaf. Baiklah, sekarang mari kita menulis!” seruku menahan malu.
            Pertemuan pertama itu aku jalani dengan penuh kesalahan. Kesalahan yang sebenarnya tak perlu terjadi. Ketakutanku yang pertama terjadi. Aku kurang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dan kondisi mereka.
*bersambung*

0 komentar:

Posting Komentar

Created By Sora Templates