Betapa Ngerinya Negeri Ini!
Terik panas dan perut yang mengaum mengantarkanku ke arah penjaja makanan yang banyak berada di belakang kampus. Jalanan ramai dengan lalu lalang motor dan pejalan kaki yang aku taksir juga merasakan hal yang sama denganku : lapar. Walaupun sudah tinggal selama hampir dua tahun disini, aku masih belum terlalu hafal dimana tempat makan yang patut dikunjungi untuk jam-jam saat itu. Setelah lama berpikir sambil menunggangi motorku yang lama tidak diservice, aku memutuskan untuk makan di tempat biasanya. Ada lauk kesukaanku disana : ayam bumbu hijau pedas. Tempat makannya sempit, tapi di tepi jalan.Bapak penjaganya ramah dan baik. Istrinya juga cantik, tipikal-tipikal wanita incaran para pria saat masih SMA. Lauk-pauknya masih berasap ketika aku datang. Kalau aku punya dua perut, akan aku cicipi semua lauk yang terhidang di etalase itu.
"Pak, bungkus!"
Dengan sigap bapak penjaga warung makan itu
melayaniku. Aku memilih lauk tempe kering, sayur kangkung, sambal, dan tentunya
ayam bumbu hijau pedas. Tak lupa aku sisipkan tempe goreng yang juga masih
berasap ke dalam bungkusan makananku sebelum dijepret bapaknya. Aku juga
memesan sebungkus es jeruk untuk menguras mulutku nanti ketika seusai makan.
Makanan di tempat ini serasa makanan warungku di Purwokerto, walaupun tidak
sama persis. Karena itu, setiap aku makan di tempat ini aku teringat dengan
warungku disana.
Sembari menunggu es jerukku diracik, aku melongok
ke dalam rumah pemilik warung makan itu. Terlihat jelas ada seorang anak
kecil, sebut saja namanya Dicky, yang menunggui ibunya meracik es jeruk
pesananku. Aku longok semakin dalam, Dicky sedang menyaksikan dan mendengarkan
lantunan lagu anak-anak yang terdengar ceria sekali. Lagu anak-anak itu dikemas
dalam sebuah video klip yang sangat apik. Di video klip, anak kecil berumur
sekitar 7 tahun digambarkan sedang asik bermain robot-robotan bersama tiga
teman lainnya. Mereka berputar ceria tertawa lepas sambil memegang robotnya
masing-masing, membuat setiap orang yang melihatnya pasti ingin tertawa;
minimal tersungging. Aku pun juga awalnya tidak bisa menyembunyikan
sungginganku, sampai akhirnya aku berpikir bahwa inilah yang seharusnya
dilakukan oleh anak kecil seumur mereka!
Aku terlempar ke memoriku sepuluh tahun yang
lalu. Saat aku seumuran dengan Dicky, aku pasti sedang bersama dengan
teman-temanku. Bermain gundu
(kelereng), badok, tepok lelek, bahkan main balon.
Banyak hal yang bisa terjadi ketika kami -aku dan temanku- bermain bersama. Pernah
suatu hari ketika kami bermain tepok lelek, aku menjadi penangkap dan
temanku jadi penolak. Ketika aku hampir menangkap umpannya dengan tangan kiriku
sambil meloncat, aku terjerembab ke tanah bercampur bebatuan. Kenapa aku sebut
dengan tangan kiri? Karena kalau menangkap dengan tangan kiri poinmu akan lebih
tinggi daripada menangkap dengan tangan kanan. Sakit, perih, dan aliran darah
langsung teralir di pelipis kananku; pelipisku menghentak ke bebatuan.
Kadang, hal semacam itulah yang membekas dibenak,
daripada mendapatkan uang banyak ketika bermain CoC. Kebersamaan dengan
temanmulah yang akan kamu kenang, daripada teman imajiner ketika bermain game
online. Aku tidak mengatakan bahwa game online atau CoC itu tidak
bisa dikenang oleh orang yang memainkannya. Tapi, bisa aku pastikan, ada rasa
yang berbeda ketika kamu bermain dengan teman nyata dan segala kelakuan
usilnya, daripada bermain dengan teman imajiner yang tak tahu bagaimana rimbanya.
Kembali ke video klip lagu anak-anak di warung
makan. Dicky bahkan sempat aku lihat meniru gerakan-gerakan yang ada di video
klip yang ia tonton. Sangat gembira sekali. Tapi, aku sempat tertegun.
Bagaimana tidak, anak-anak kecil yang seumuran dengan Dicky sekarang ini lebih
banyak menonton dan/atau mendengar lagu-lagu orang dewasa yang semakin kurang
ajar dengan anak-anak. Mereka menyuguhkan lirik-lirik yang nakal dan tidak
berperikeanak-anakan. Dengan seenaknya mereka mempertontonkan lekuk tubuh mereka
di layar kaca. Anak-anak kurang asupan lagu yang pas dengan umur mereka. Mereka
kurang mendapatkan ruang di layar kaca untuk membuat mereka terdidik dan
menumbuhkan kreatifitas mereka. Mereka haus dengan tontonan-tontonan
'anak-anak'.
Aku terlempar lagi ke memoriku sepuluh tahun yang
lalu. Saat pulang sekolah, sekitar jam 10 pagi, aku langsung menyalakan
televisi dan aku langsung disuguhkan tontonan yang sangat menarik. Dulu, ada
Power Rangers, Teletubies, Tralala-tralili, dan kalau hari Minggu tiba aku akan
berusaha bangun sepagi mungkin untuk menikmati tontonan kartun berkualitas,
mulai dari Pokemon jam 7 pagi, Tsubatsa jam 7.30 pagi, kemudian Doraemon jam 8
pagi, diikuti Shinchan, Power Rangers, dan tontonan lainnya. Dulu, hari Minggu
itu adalah hari kebebasan bagi anak-anak, setidaknya bagiku, karena
Minggu adalah hari dimana remot televisi berada dalam kekuasaanku sepenuhnya.
Kalau kita longok keadaan hari ini, anak-anak
pulang sekolah sekitar jam 10 pagi. Lalu, mereka membuka televisi. Apa yang
mereka lihat? Kartun? Bukan. Tapi, orang-orang yang dibayar hanya untuk tertawa
dan bergoyang ketika disuguhkan nyanyian-nyanyian berlirik nakal dan tidak
mendidik. Tontonan yang membuat pikiran mereka tergoncang karena mereka melihat
tayangan ejek-ejekan, pukul-pukulan, bunuh-bunuhan, kosa-perkosaan,
curi-mencuri, dan lainnya. Tayangan ini bukan tidak mungkin akan mereka rekam
dalam ingatan mereka, dan ketika kesempatan itu ada mereka akan menirukan apa
yang mereka lihat.
Pun tak bisa dipungkiri, anak-anak sekarang sudah
tidak bisa lepas dari gadget berteknologi canggih. Kemanapun pasti
mereka menyakui gadget canggih
pembelian orang tua mereka. Seakan orang tua ingin menyampaikan, “saya belikan
mereka gadget karena saya tidak ingin repot mengurusi ketika mengajak
mereka keluar rumah. Dengan bermain gadget, mereka pasti akan fokus pada
gadgetnya, tidak akan merecoki.” Selain merusak mental mereka, cekokan gadget juga bisa merusak kemampuan
interaksi dan komunikasi mereka. Mereka akan sulit beradaptasi pada lingkungan
baru. Mereka akan sulit mendapatkan teman, ya, karena teman mereka kebanyakan
imajiner di dalam gadget. Coba
bandingkan dengan anak-anak jaman dulu. Pegangan anak jaman dulu ya kalau tidak
Gamebot pasti badok atau gundu. Suasana pertemanan sangat kental
ketika aku masih kecil. Setiap sore pasti ke lapangan, bermain bola, layangan,
atau sekedar ngobrol-ngobrol kecil yang sekarang dikenal dengan istilah quality time. Dulu, waktu satu hari itu
serasa panjang sekali.
Globalisasi dan modernitas memang tidak bisa
dilepaskan sebagai penyebab ini semua. Tapi, ketika semua itu disalahgunakan,
seperti sekarang ini, maka akan berdampak pada tumbuh kembang anak Indonesia
yang semakin tahun semakin mencemaskan. Sekarang saja sudah banyak anak-anak
yang terlilit kasus kriminal, bahkan sampai pada kasus pembunuhan. Hal itu
tidak bisa lepas dari tontonan mereka sehari-hari, termasuk sinetron-sinetron, reality
show, variety show, dan show-show lainnya. Sedikit banyak pasti
mereka belajar dari sana. Kalau tidak ada tindakan yang nyata dan tegas untuk
mengatasi hal ini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kelanjutan negeri ini
ditangan anak-anak yang kecilnya dicekoki tontonan seperti itu. Betapa ngerinya
negeri ini
Cie cie cie om bryan, tulisannya udah kayak pakcik andrea :D
BalasHapushaha alhamdulillaah ya :p terima kasih loh nip!haha
Hapus