Prostitusi Bergerigi 2
Sebuah
tempat yang berada di tengah-tengah kota. Sebuah tempat yang sepuluh menit
sekali kebisingan karena ada kereta api lewat. Sebuah tempat yang ‘katanya’
milik Raja Yogyakarta tetapi malah menjadi salah satu tempat lokalisasi
termahsyur di kota ini. Gang panjang dengan tembok di kiri kanan akan
mengantarkanmu sebelum sampai ke tempat lokalisasi. Mereka hidup berdampingan
dan harmoni dengan masyarakat sekitar. Hidupku,
hidupku. Hidupmu, hidupmu; mungkin kata-kata itu yang mereka pegang
sehingga bisa harmonis sampai sekarang. Sekalipun tempat ini adalah tempat
lokalisasi, mereka tidak melupakan kewajiban mereka dalam beragama, di sini ada
sebuah masjid yang cukup besar dan megah. Semacam mawar merah yang tumbuh dalam
padang sahara.
“Silakan, masuk aja. Maaf tempatnya
memang cuma segini,” kata Mbak Luna saat aku dan temanku, Baiq Rita, memasuki
ruangan pelatihan.
Ruangannya sekitar 3m x 4m mirip
kos-kosan, tetapi dindingnya hanya terbuat dari triplek-triplek yang ditempeli
spanduk bekas kampanye para eksekutif. Untuk meminimalkan rasa gerah, ada
sebuah kipas angin mini yang berada di langit-langit dan setiap kipas berputar
pasti berbunyi seperti detak jam berdenting. Ruang ini berdempet dengan
warung-warung kecil punya warga, atau biasa mereka pakai sebagai tempat transit. Jaraknya dengan rel kereta api
pun hanya kurang dari tiga meter. Pintunya terbuat dari bambu yang dilapisi
terpal yang ketika kereta api lewat terpal itu berkibar bak sang Saka karena
tertiup angin hembusan kereta api.
“Selamat sore Ibu-ibu. Perkenalkan
saya Bryan dan teman saya Baiq Rita dari UMY ingin berbagi sedikit ilmu kami
tentang kepenulisan,” aku membuka forum ini dengan sangat gugup.
Tiba-tiba seorang perempuan yang
duduk di pojokan sambil bersender dan dengan muka sedikit cemberut memprotes.
“Jangan panggil Ibu dong, mas!
Panggil Mbak saja. Kan kami belum tua-tua!” celetuk wanita itu.
Aku terkejut. Kesalahan pertama!
“Jadi, hari ini kita akan belajar
menulis tentang kehidupan Mbak-mbak dari kecil sampai sekarang terjun menjadi
seorang pekerja seks komersial. Nantinya, tulisan-tulisan Mbak akan kami
bukukan supaya masyarakat mengerti tentang keadaan pekerja seks komersial
seperti Mbak-mbak ini dari kacamata Mbak sendiri. Tujuannya supaya tidak ada
lagi kata diskriminasi untuk pekerjaan Mbak sebagai pekerja seks komersial,”
kataku panjang lebar.
Tiba-tiba ada yang tunjuk tangan
lagi tanda ada pertanyaan, atau protes (lagi). Mati aku.
“Mas, tolong kata komersialnya
dihilangkan ya,” kata wanita itu.
Kesalahan kedua!
“Oh iya Mbak, maaf. Baiklah,
sekarang mari kita menulis!” seruku menahan malu.
Pertemuan pertama itu aku jalani
dengan penuh kesalahan. Kesalahan yang sebenarnya tak perlu terjadi. Ketakutanku
yang pertama terjadi. Aku kurang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dan
kondisi mereka.
*bersambung*
0 komentar:
Posting Komentar