Hari kedua trip kami di Belitung adalah ke Manggar lewat jalan Kampit. Aku jemput Bima di hotel sekitar jam 8 pagi terus langsung cabut ke Manggar. Kenapa lewat Kampit? Karena rencananya kami mau ke Open Pit yang terkenal itu. Aku sendiri belum pernah ke sana jadi yaudah sekalian mumpung ada temennya jadi ke sana deh. Sebelum jalan kita beli kepiting isi dulu sambil mengenalkan Bima ke kuliner khas Belitung ini. Walaupun harga satuannya cukup untuk beli nasi ayam seporsi di Jogja, tapi rasanya
kok.
Sekitar jam 10 kurang sudah sampai di Pasar Kelapa Kampit. Selalu senang kalau di Pasar Kelapa Kampit ini. Karena melihat kerukunan beragamanya kuat banget. Ada Vihara, Klenteng, dan Masjid yang letaknya berdekatan. Belitung memang dikenal sebagai daerah yang multikultural sih dan memang di sini adem ayem aja. Belum ada gesekan antar etnis atau agama dan jangan sampai terjadi di Belitung deh kejadian macam gitu.
Karena kami, aku terutama ga tau jalan ke Open Pit, bertanyalah ke orang yang sekiranya tau. Aku sendiri juga asing dengan jalan sekitar Kampit, tersasarlah kami muter-muter. Setelah 15 menitan muter-muter cari jalan, akhirnya nemu gerbang menuju destinasi pertama kami : Open Pit. Untuk teman-teman yang ingin ke sana masuklah lewat jalan taman Kampit, lurus terus sampai ketemu perempatan yang ada masjidnya, terus belok kanan. Sekitar 300 meter dari perempatan sudah ada papan nama Open Pit di kiri jalan. Jangan muter-muter ga jelas dulu kaya kami.
Akses menuju Open Pit terbilang masih sangat buruk untuk tujuan wisata. Jalan menanjak yang masih bertanah kuning dan tidak rata sangat menyusahkan bagi wisatawan yang manja. Untungnya kita wisatawan yang ga manja jadinya lanjut aja. Jalan bertanah kuning yang menanjak harus dilalui sepanjang 600 meter dari plang nama Open Pit. Kiri kanan jalannya masih hutan jadi sedikit menakutkan bagi yang biasa nonton film horor yang ada scene hantu di hutan.
|
Open Pit dengan segala sejarah yang terkandung di dalamnya. Jalan menuju tempat ini ga sempat difoto, soalnya udah ngos-ngosan duluan. |
|
Pose serius yang bagus. Ketepangen mun uje urang Belitong galak e. |
|
Bima abis perawatan kulit di Belitung Skincare Aesthetic Center. |
Sekitar sepuluh menit kemudian akhirnya kita dihadangkan pada pemandangan yang ...... bagus tapi biasa saja. Bener kata Bima sih, "Tempat ini sebenernya biasa aja, cuma sejarahnya yang bagus". Open Pit merupakan tempat tambang timah primer satu-satunya di Bangka Belitung yang menerapkan sistem
underground (Tambang Dalam). Tambang Dalam ini berproduksi sejak tahun 1895 hingga 1985. Kini hanya menyisakan kolong (lubang bekas galian timah) yang airnya berwarna hijau dan dijadikan sebagai salah satu tempat wisata di Belitung Timur.
Di Open Pit kita cuma foto-foto sekitar 10 menit abis itu balik melanjutkan perjalanan langsung ke Pantai Burung Mandi. Di sinilah perbuatan sangat berdosa kami perbuat. Bukan, kami bukan berduaan di semak-semak, bukan pula berbuat yang tidak senonoh. Lebih dari itu.
Baca juga :
HBisOnVacation Akhirnya Ke Belitung! (Day 1)
Sampai di Pantai Burung Mandi kita cari-cari tempat duduk yang pewe. Setelah nemu kok kayanya ada yang kurang. Iya! Kelapa muda! Menurutku, kalau ke pantai tidak minum Kelapa Muda itu seperti minum es teh tanpa sedotan. Ya tetep bisa diminum sih, tapi ya lupakan aja lah. Bukan itu inti dari cerita Burung Mandi. Penasaran ya? Di paragraf selanjutnya, ya!
Setelah datang kelapa muda kok kayanya masih ada yang kurang ya? Oh ya, kalau di pantai enaknya makan ikan kerisi bakar. Tanya ke warung terdekat nanya ikan kerisi ga ada, adanya ikan Jebung yang harganya 80 ribu. Terus karena masih pengin cari ikan kerisi, kita pergi ke warung yang jaraknya empat warung dari warung awal. Belum ngerti? Ulangin coba bacanya. Udah? Yakin? Oke lanjut. Aku tanya ke kakak penjaga warung kedua, "Kak, ade ikan kerisi ke?", "Dak ade o bang". Nelayan ga melaut malam sebelumnya karena angn kencang, jelas kakaknya tadi. Terus aku tanya, "Kalok ikan Jebung berape kak?", "50 ribu la bang". Beda 30 ribu sama warung pertama. Aku oke, Bima oke. "Ye kak pesan sikok (satu) ye ikan Jebung," kataku ke kakak yang baik itu. Terus Bima bilang, "Gapapa ya pesan makan tempat lain, kan kita duduk di depan warung tadi?". Oh iya juga pikirku. "Apa bungkus aja, Bim?". Bima manggut-manggut. Oke. "Bungkus kak ye. Kamek (kami) tinggal dulu. Nak (mau) foto-foto dulu". Kakaknya mengiyakan sambil mengambil ikan Jebung dan lantas langsung membakarnya dengan bumbu-bumbu ikan bakar.
Kita balik ke tempat duduk dan Bima berjalan ke tepi pantai meng-
capture Pantai Burung Mandi yang tidak seindah Pantai Tanjung Kelayang yang dihari sebelumnya dikunjungi.
Sorry to say, matamu mengalami
downgrade akut, Bim. Duduk-duduk di sana agak lama karena nunggu lewat jam 12. Katanya, kalo jam 12 lagi dalam perjalanan, banyak hantu lewat di jalanan itu. Entahlah benar atau tidak. Tapi, sebenernya kita masih menikmati angin sepoi-sepoinya pantai ini jadi udah pewe duluan. Saking pewe-nya, kita memutuskan untuk tidak mengambil dan membayar ikan yang sudah kami pesan tadi. Iya, kita kabur. Kita melarikan diri dari tempat itu. Kita berlumur dosa. Kita jahat. Keluar pantai dengan rasa tidak berdosa dan menganggap hal tersebut bagian dari pengalaman trip kita. Pengalaman,
ndiyasmu! Jika kakaknya baca tulisanku ini, aku minta maaf ya kak. Setelah dipikir-pikir, betapa jahatnya kami merampas rejekimu. Aku sumpahin lah kakak dapat rejeki banyak setelah kejadian itu ya kak. AAMIIIIN!!!!
Dari Pantai Burung Mandi, kita cabut ke Vihara Dewi Kwan Im yang letaknya tidak jauh dari Pantai Burung Mandi. Aku penasaran dengan mitos ramalan di sini. Bima juga masukin tempat ini dalam
list tempat kunjungannya di Belitung. Klop. Kita naik dan muterin tempat ini. Ornamen yang dominan berwarna merah kental dengan ciri khas Tionghoa terpampang di setiap inci bangunan itu. Vihara ini merupakan vihara tertua dan terbesar di Belitung dan berdiri sejak abad 18. Ketika kami berkunjung, masih berlangsung pembangunan patung Dewi Kwan Im terbesar di Belitung. Akan diresmikan akhir September 2017 ini.
|
Patung Dewi Kwan Im yang lagi dibangun. |
|
Pojok Vihara |
|
Tempat sembahyang terbesar di Vihara ini namanya Kon In. |
|
Pemandangan dari tempat sembahyang |
Pas kita ke pusat tempat itu (mungkin tempat sembahyangnya umat di Vihara), ga ada penjaganya. Yah, gagal ngeramal.
Wait. Niat kita ngeramal bukan karena kita
desperate dengan hidup kita, ngga, tapi hanya untuk seru-seruan aja. Setelah mau balik, eh penjaganya dateng. Tapi dia bilang ga bisa baca artinya. Yaudah lah gapapa, toh niatnya juga bukan untuk tau dan meyakini hasilnya.
Ritual ramalan ini dimulai dengan berdoa di depan tempat sembahyang sambil menyebutkan nama lengkap dan alamat. Aku berdoa. Tapi, dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Setelah itu, kita diminta untuk mengocok sekotak kayu yang isinya beberapa kayu panjang bertuliskan abjad Tionghoa. Dikocok hingga keluar satu kayu. Setelah keluar satu kayu, kita disuruh memegang dua benda yang bentuknya setengah bulat. Kita diminta untuk menjatuhkan benda itu ke bawah. "Senpai!" kata penjaganya. Artinya adalah doa kita diterima oleh yang di atas. Tandanya salah satu dari dua benda itu jatuh dengan posisi terlentang dan satunya sebaliknya. Aku sendiri ga tau gimana caranya dia membacanya, tapi setelah itu aku langsung dikasih kertas berbentuk persegi panjang dan bertuliskan huruf mandarin. Di balik kertas ada terjemahannya. Tapi, terjemahannya itu seperti kalimat kiasan, jadi tidak bisa langsung dipahami. Yaudah lah ya, yang penting sudah ngerti prosesnya. Yes! Udah ga penasaran lagi.
|
Bima lagi melakukan ritual ramalan. |
|
Ini lho hasilnya. |
Setelah kita berdua 'diramal', kita mau balik. Eh tiba-tiba gerimis. Apakah ini tanda bahwa kita sudah menambah dosa setelah kabur dari kakak-kakak ikan bakar? Kita diazab karena meramal hidup di sini? Semoga ngga. Kita terobos aja gerimis itu dan sekitar 200 meter setelah keluar, gerimisnya udah ga ada. Kita tambah merasa diazab karena sudah kabur dari ikan bakar dan meramal di Vihara. Ya Tuhan, maafkan kami.
Dari Vihara, rencananya kita mau ke Pantai Bukit Batu, yang konon dipunyai oleh Ahok. Tapi karena waktu sudah tidak memungkinkan, kami lanjut terus ke Manggar. Muterin Kota Manggar, terus ke Pasar Manggar ngelewatin '1001 warung kopi', Pantai Serdang, terus naik ke Bukit Samak, lalu istirahat makan di rumahku. Iya, ga ada yang istimewa di Manggar, kecuali kerumunan orang-orang yang ngopi menghabiskan waktu berjam-jam tanpa kegiatan lain. Kita istirahat makan,
charge hape, dan leyeh-leyeh sebentar terus langsung cabut ke Gantung.
Ke Belitung kalau ga ke Gantung itu kaya make laptop yang baterenya soak tapi ga bawa
charger-nya, ga akan bisa. Iya, ini curhat. SD Laskar Pelangi, Museum Kata Andrea Hirata, rumah Ahok, dan .......... rumah Bu Muslimah. Iya, rumah asli beliau. Kebetulan, dulu banget pas beliau masih ngehits di tv-tv aku main ke rumahnya tapi ga ada orang. Jadi, aku tau rumah beliau. Pas sampe rumah beliau, rumahnya kebuka sih. Tapi, sudah diketuk-ketuk dan salam, orang di dalam tidak menanggapi. Pas mau balik, eh ada suara panci jatuh. Aku salam lagi, lalu tiba-tiba muncul sesosok wanita yang berbusana sehari-hari umumnya ibu rumah tangga. Ia hanya mengambil barang di meja dekat pintu yang terbuka tanpa mengindahkan salam kami. Bahkan ia mendehem, "euhh". Iya, itu beliau. *gabolehnyinyir* *khusnuzonaja*. Lalu, aku dan Bima mundur perlahan dan pulang.
|
Di SD Laskar Pelangi. Aku ga foto di sini, dah sering ke sini. Bosen. He he he |
|
Sok akrab. |
|
"Siapa yang tahu jawaban soal ini angkat tangan?" |
|
Museum Kata Andrea Hirata. |
|
Salah satu pojok Museum. |
Kami mencoba untuk menebak-nebak motifnya memperlakukan kami seperti itu. Tapi, yasudahlah. Kalaupun ia menanggapi kami dengan baik juga mau ngomongin apa, yekan? Daripada sakit hati mikirin itu mending kita ngopi aja di salah satu warung kopi di pasar Manggar. Setelah dari warkop kita ngabisin waktu senja di Pantai Nyiur Melambai sambil ngomongin buat trip hari ketiga mau ke mana aja.
Nothing special kalo di Manggar. Jadi, ga heran kalau wisnus atau bahkan wisman, cuma menjadikan Manggar dan Belitung Timur sebagai tempat transit saja. Soalnya ga ada penarik untuk wisatawan untuk berada lebih lama di Manggar.
Trip hari kedua selesai dan kami lalui dengan berlumur dosa.