Prostitusi Bergerigi
“Gimana,
Bry? Jadi mau ikutan, ga?” tanya Erwin.
“Gimana
ya, Win? Aku masih bingung. Bahaya ga sih?” sahutku sambil tertawa.
“Aku
tunggu sampai besok ya Bry jawabannya. Kalau mau ikut langsung kontak aku aja,”
timpal Erwin.
Hari
Rabu bulan September 2014 aku diajak teman seorganisasiku, Erwin Rasyid,
mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa ke-28. Setahun sebelumnya aku juga
pernah mengikuti program serupa, jadi aku tidak terlalu asing dengan nama
programnya. Aku berpikir dua kali untuk mengiyakan ajakan Erwin karena tema
yang diangkat di program Erwin ini. Temanya adalah ‘Advokasi Perempuan Pekerja
Seks Melalui Citizen Journalism’.
Perempuan Pekerja Seks? Sangat diluar bayanganku saat itu. Aku membayangkan jika
aku menerima ajakan Erwin aku akan ‘bergaul’ dengan perempuan-perempuan pemanen
dosa. Aku takut, sebagai pria normal, akan tergoda jika aku ‘bergaul’ dengan
mereka. Aku membayangkan jika aku menerima ajakan Erwin, aku akan dicekoki
minuman keras oleh mereka sehingga aku mabuk, lalu aku tidak sadarkan diri dan
ketika bangun aku sudah berada di sebuah kamar dengan perempuan di sampingku.
Aku terlalu terbuai dengan cerita-cerita murahan sinema televisi saat aku kecil
yang hampir setiap hari aku tonton. Aku bimbang; ya atau tidak.
Keesokan
harinya, aku kembali bertemu dengan Erwin. Aku sedikit tak acuh padanya ketika
bertemu. Aku malas bertemu dengannya karena pasti aku akan ditanyai lagi
tentang ajakan dia kemarin.
“Hei,
Bry! Gimana? Ya atau tidak?” akhirnya dia bertanya.
“Eh,
Win! Hehehe. Gimana ya, Win? Aku bingung, Win,” sahutku.
“Kapan
lagi bisa berkontribusi untuk masyarakat kalau ga sekarang Bry?! Kapan lagi
bisa dekat dengan mereka-mereka? Selama ini kita hanya melihat mereka dari
luarnya saja, kita belum pernah melihat apa yang sesungguhnya terjadi dibalik
profesi mereka kan?” Erwin meyakinkanku.
Terkesiap
aku mendengarnya. Aku mulai bertanya-tanya, apakah mereka sengaja ingin
berprofesi sebagai pemuas nafsu pria tidak tahu malu? Atau malah mereka
berprofesi seperti itu karena terjebak dalam skenario konspirasi orang-orang
biadab? Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, aku iyakan ajakan Erwin. Toh nanti
disana aku akan saling belajar dengan mereka tentang ilmu jurnalistik. Jadi,
tidak akan ada kata mabuk-mabukan disana. Aku luruskan niatku untuk mencoba
berbagi ilmuku tentang jurnalistik kepada mereka. Dengan menyebut nama Allaah
yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang.
***
Dua bulan berselang, proposal
program kami –Aku, Erwin, Laila, Hilmi dan Dea— akhirnya disetujui oleh Direktorat
Pendidikan Tinggi untuk kami laksanakan program kami di lokalisasi di sekitar
kota Yogyakarta. Dana yang disetujui pun sekitar 95 % dari yang kami usulkan.
Kami mulai merancang modul, perlengkapan, peralatan, dan segala kebutuhan kami
untuk melaksanakan program yang tidak biasa ini. Bagaimana tidak? Selama
sekitar tiga bulan kami akan bercokol di tempat lokalisasi yang sebelumnya
membayangkannya saja tak pernah.
Akan aku jelaskan sedikit inti dari
program kami ini. Program ini adalah sebuah wadah advokasi untuk para Perempuan
Pekerja Seks (PPS) melalui citizen
journalism. Dimana di program ini kami akan mengajak para PPS ini untuk
mengadvokasi diri melalui tulisan, baik itu berita, cerita, hingga dalam bentuk
puisi sekalipun. Dengan cara ini, mereka diharapkan mampu membuka mata dan
pikiran orang-orang di luar sana yang menganggap mereka hanya sampah
masyarakat. Tetapi, sebenarnya mereka hanyalah korban dari orang-orang biadab
yang hanya mengincar kenikmatan dan keuntungan untuk kantong mereka sendiri.
Keluaran yang diharapkan dari program ini adalah buku yang sedang kalian pegang
sekarang. Tulisan dalam buku ini adalah tulisan mereka sendiri, para PPS yang
banyak mendapat celaan, cercaan, dan cemoohan dari masyarakat; mungkin termasuk
Anda.
Aku, Hilmi, dan Laila masing-masing
ditugaskan menjadi pelatih PPS di tiga tempat lokalisasi yang telah dipilih :
Ngebong, Giwangan, dan Pasar Kembang. Satu kali dalam seminggu selama satu
bulan kami akan berkunjung ke masing-masing tempat itu untuk melakukan
pelatihan jurnalistik. Kebetulan aku mendapatkan tempat yang cukup dekat dengan
kosku : Ngebong. Laila di Pasar Kembang dan Hilmi di Giwangan. Sedangkan Erwin
dan Dea akan menyiapkan acara launching bukunya.
Aku gerogi. Bisakah aku? Apakah aku mampu untuk membawa suasana yang kondusif
bersama dengan PPS yang dalam pikiranku saja aku takut dengan mereka.
***
bersambung~